Friday, September 28, 2007

Yogyakarta, Labuan Kebangkitan Pers Hindu

Yogyakarta, Labuan Kebangkitan Pers Hindu

OLEH : Ida Bagus Rian Mahardhika

Siapa yang belum tahu Yogyakarta, yang konon sering dijuluki sebagai kota pelajar. Banyak orang berbondong-bondong dari segala penjuru tanah air datang ke Kota Gudeg ini, ada yang berencana melanjutkan kuliah, mencari nafkah ataupun sekedar melancong. Diantara sekian banyak orang yang turut memenuhi wilayah Yogyakarta satu diantaranya adalah para kaum muda generasi Hindu yang dengan segenap tekadnya melanjutkan pendidikan di kota yang memiliki semboyan “Jogjaku Bersih” ini. Mereka yang mayoritas bersal dari Bali itupun tersebar luas di berbagi perguruan tinggi baik swasta maupun negeri di wilayah Sri Sultan Hamengkubuwono tersebut.

Cap sebagi mahasiwa yang menempel tidak menjadi halang rintang bagi mereka dalam beraktivitas dan berkarya. Organisasi-organisasi berkiblatkan Hindu pun menjamur mewadahi hasrat mereka dalam bersosialisasi ataupun sekedar mencari teman yang memiliki satu keyakinan yang sama. Tanpa terkecuali Pers Hindu yang turut serta memeriahkan gegap gempita diantara keterdesakan oleh kemayoritasan.

Menjadi pemandangan yang berbeda ketika Purnama ataupun Tilem tiba, maka pura-pura yang berda di sekitar wilayah Yogyakarta sesaat dipenuhi oleh rombongan kaum urban yang ingin melaksanakan aksi spiritualnya. Namun hal yang paling berbeda dan jarang ditemui di tempat lain adalah ketika dari kerumunan dan kepadatan pura tiba-tiba berdiri sosok-sosok muda yang dengan penuh kesabaran dan senyum lebar memberikan selembaran-selembaran kertas yang lebih akrab disebut dengan Newsletter.

Ya, kebanyakan mereka menyebutnya dengan Newsletter atau media lembar, dimana mereka hadir dalam merk-merk yang berlainan satu dengan yang lainnya, sebut saja dengan Newsletter Sanatana Dharma, Jayapangus, Tunjung Putih, Sai Santhi dan Suara Anandam yang secara silih berganti memeriahkan malam Purnama dan Tilem para kaum urban tersebut. Namun apakah yang menarik dari Newsletter tersebut, pada dasarnya Newsletters tersebut berisikan berita-berita yang terkait dengan Hindu. Namun masing-masing Pers memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing

Sebut saja JayaPangus yang kuat dengan tampilan pop komik dan gaya penulisan anak mudanya yang tersaji secara ringan atau Sanatana Dharma yang lebih menonjolkan isi dari segi fundamental Hindu secara utuh. Jelasnya mereka (baca: newsletter) tersebut saling menutupi kekurangan satu dengan yang lainnya.

Mereka hadir dengan tujuan mulia, dengan ‘kocek’ sendiri mereka berusaha untuk berkreasi dan berkarya demi kemajuan umat. Label mahasiswa pun tak hanya menjadi pelengkap gelar mereka, karena mereka sebagi agen-agen perubahan zaman telah membuktikan diri bahwa mereka memang layak disebut mahasiswa, suatu fase tertinggi yang tak semua orang mampu mencapainya.

Dari media lembar inilah mereka berkiprah, tak hanya sekedar memenuhi ataupun menjadi sampah pura pada Purnama dan Tilem, tetapi mereka hadir menemani dan menyuguhkan air spiritual yang menjadi obat dahaga di saat masa krisis moral saat ini.

Melalui laporan khusus ini kita akan melihat sepak terjang aktor–aktor di balik layar para media lembar tersebut, mengenali mereka secara mendalam serta belajar berbagi hal dari mereka-mereka yang berjuang di jalan dharma tersebut. Sampai kapankah mereka akan bertahan dan terus berjuang membangkitkan semangat umat dan apakah yang sekiranya membuat mereka bertahan? Apakah Yogyakarta akan tetap menjadi Labuan dari bangkitnya Pers Hindu di Indonesia? Mari kita tunggu aksi mereka selanjutnya.

Kini Hindu pun Harus Berwawasan Budaya Nusantara

Kini Hindu pun Harus Berwawasan Budaya Nusantara

OLEH : Ida Bagus Rian Mahardhika

Tercatat dalam sejarah bangsa ini bahwa Hindu adalah agama tertua di Indonesia. Perjalanan sejarah bangsa pun mencatat betapa maha dashyatnya kerajaan-kerajaan Hindu pada masa silam tersebut. Kekuatan raja-raja Hindu pada masa itupun tak terelakan lagi kemashyurannya, bahkan nama-nama besar seperti Hayam Wuruk, Mulawarman, dan nama besar lainnya senantiasa tercatat dalam buku besar peradaban sejarah bangsa ini. Bekas-bekas kejayaan pada masa itupun masih dapat kita nikmati kemegahannya sampai sekarang tanpa terkecuali warisan budaya luhur para leluhur kita dahulu yang senantiasa mendarah daging dalam kehidupan spiritualitas umat Hindu masa kini.

Budaya yang sering diartikan sebagai hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat, menjadi tonggak ataupun tolak ukur dari sebuah peradaban suatu bangsa. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, serta segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Memang jika kita kaji dan telaah secara mendalam, budaya merupakan suatu keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Terkait dengan perkembangan konsep ajaran agama, budaya memiliki peran sentral dan strategis dalam pengembangan ajaran-ajaran agama di Indonesia, khusunya ajaran Hindu. Hal ini dapat kita pahami bagaimana sangat sulit kita bedakan antara konsep agama dengan budaya yang berlaku itu sendiri. Lebih jelasnya kita dapat melihat pada sebuah konsepsi pada tataran upacara adat yang dilakukan pada masing-masing daerah yang berlabelkan budaya, yang sudah barang tentu berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, walau dalam satu payung agama yang sama.

Hal tersebut seharusnya dapat kita pahami bersama, karena merujuk pada pengertian budaya diatas bahwa agama hanyalah suatu sub sistem dari keseluruhan sistem budaya yang berlaku pada suatu organisasi masyarakat. Dengan demikian sangatlah memungkinkan ketika keberadaan ajaran agama dalam hal ini Hindu untuk senantiasa menyesuaikan dengan sub sistem lain yang berlaku pada sistem budaya yang berlaku seperti norma, adat istiadat, hukum dan lain-lain.

Hal yang sangat nyata dapat kita lihat ketika kita keluar dari kotak, berada di luar sistem dan masuk pada sistem yang lain. Seketika itu kita dapat melihat dan merasakan sendiri perbedaan dan kejanggalan yang terjadi. Pada saat itulah kita akan mempertanyakan keabsahan dari tatanan ajaran agama pada sistem yang baru tersebut. Sebagai ilustrasi contoh adalah ketika kita yang lahir besar tumbuh berkembang pada sistem budaya Bali dengan sub sistem ajaran Hindu, ketika kita keluar dari sistem tersebut misalkan masuk pada sistem budaya Jawa yang notabene memiliki beberapa perbedaan mendasar dalam tatanan uapacara keagamaan, adat istiadat dan hubunngan sosial masyarakatnya, maaka pada saat itulah kita akan mempertanyakan keabsahan ataupun keajegan dari budaya yang kita pahami sebelumnya.

Karena sudah menjadi naluri manusia untuk bertahan dan mempertahankan budaya yang sudah terinternalisasi pada dirinya maka proses infiltrasi pun dilakukan, memboyong budaya asal pada daerah baru tempat ia berada. Mengatasnamakan ajaran agama, terkadang arogansi budaya pendatang pun menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya penjajahan budaya tersebut. Nilai-nilai luhur budaya asli pun mulai tersingkirkan dan tergantikan oleh aksi penyeragaman terhadap sistem budaya pendatang. Perlahan demi perlahan seiring berjalannya waktu kekayaan luhur budaya nusantara pun akan tersisihkan dibarengi oleh turunnya pemeluk agama Hindu pada daerah jajahan yang disebabkan oleh adanya perasaan terasingkan dan terkucilkan.

Oleh karena itu dalam rangka menjaga dan melestarikan warisan falsafah budaya bangsa sudah menjadi keharusan bagi generasi muda Hindu untuk memahami perbedaan konsepsi budaya, dalam hal ini terkait dengan keberagaman tata upacara keagamaan, adat istiadat yang serta hubungan sosial masyarakat yang setiap daerah miliki. Menjadi kewajiban bagi kita untuk bisa menyebarluaskan Hindu yang syarat dengan wawasan nusantara, dengan mempertahankan local genius yang berlaku pada daerah setempat, bukan lagi melakukan aksi penjajahan ataupun penyeragaman budaya.

Biarlah Hindu kini tumbuh berkembang menyesuaikan wadahnya yang menjalankan perannya sebagai arahan spiritual dari masyarakat yang ada di dalamnya. Penyebarluasan ajaran Hindu pun nantinya tidak lagi di dominasi oleh budaya daerah tertentu saja melainkan Hindu hidup dalam suatu sistem budaya yang diterima dan disesuaikan dengan local genius setempat. Sampai pada akhirnya Hindu pun lahir sebagai agama yang syarat akan keberpahaman terhadap wawasan budaya Nusantara.

*

Siarkan Ajaran Dharma Lewat Gelombang Udara

Siarkan Ajaran Dharma Lewat Gelombang Udara

Oleh : Ida Bagus Rian Mahardhika

Tak pernah surut semangat kaum intelektualitas muda Hindu dalam berkarya, desakan kaum mayoritas tak membuat gentar derap langkah para dara juang Hindu untuk sebarkan ajaran dharma di bumi Yogyakarta. Terbukanya ruang publik yang syarat akan heterogenitas tidak dilewatkan begitu saja oleh para muda berbakat ini, perlahan demi perlahan mimbar Hindu Global FM Radio Yogyakarta mulai menapaki langkah menuju paradigma baru untuk mau belajar Hindu secara mendalam. Melalui laporan khusus ini mari kita telusuri sepak terjang mereka dalam siarkan Hindu melalui gelombang udara.

Sepak Terjang Mimbar Hindu di Global FM Yogyakarta

Ruangan seluas empat kali tujuh meter menjadi saksi bisu perjuangan mimbar Hindu setiap minggunya dalam mensiarkan dan berdiskusi mengenai ajaran Hindu, di dalam ruangan ber-AC itulah kiprah Giri Prayoga dkk dimulai. Memang bukan pertama kalinya penulis berkunjung ke mimbar Hindu, karena kerap kali penulis sering diundang menjadi pembicara dalam kesempatan yang berbeda. Senyum hangat dan sapaan ramah pun selalu mereka lontarkan pada setiap tamu ataupun sekedar teman yang ingin ikut siaran bersama mereka. Tak jarang canda-canda kecil pun terucap mencairkan suasana studio mimbar yang yang berada pada lantai dua gedung Global FM Yogyakarta

Namun jangan anda bayangkan mimbar ini sama dengan mimbara agama Hindu yang sering disajikan di stasiun TV di Indonesia, karena konsep yang mereka tawarkan sangatlah berbeda dari yang pernah ada. Diskusi interaktif menjadi andalan acara ini, karena acara ini tidak menghadirkan monolog yang menjenukan melainkan mengedepankan dialog interaktif baik dari para pendengar di radio yang secara khusus datang untuk ikut berdiskusi maupun pendengar yang mendengarkan lewat radio. Selingan lagu-lagu bernafaskan Hindu sudah barang tentu menjadi satu kesatuan acara yang tak terpisahkan dari mimbar yang berdurasi satu jam tersebut.

Pada kesempatan berbeda Giri Prayoga selaku pengelola menjelaskan kronologis masuknya mimbar Hindu ke Radio Global yang sesungguhnya sudah direncanakan sejak diakuisisinya Radio Global oleh Bali TV. “Usulan acara mimbar Hindu ini sudah ada dan terealisasikan sejak tiga tahun silam, dulu PHDI yang ambil bagian sebelum akhirnya saya masuk dan mengelola acrara ini,” tutur pria berkulit sawo matang ini menandaskan. Unsur Bali TV ditengarahi menjadi faktor pemicu bagi adanya mimbar Hindu ini. “Ya saya meyakini bahwa kalau tidak ada unsur Bali TV mungkin mimbar ini tak pernah ada” tutur pria berperawakan sedang tersebut. Adapun sebagian besar orang-orang yang terlibat dalam mimbar ini adalah mahasiswa yang tentunya memiliki alasan tersendiri. “Saya banyak melibatkan teman-teman mahasiswa untuk aktif terlibat disini, selain karena Jogja memang gudangnya mahasiswa, melalui mahasiswalah Hindu dapat berkembang,” tegasnya. “Pembagian tugas dan peranpun menjadi sangat penting disini, ada yang mengendalaikan mixer, ada yang bertugas menjadi penyiar, sebagai moderator dan juga nara sumber,” tambahnya.

Tema-tema yang dibahas setiap minggunya menjadi perhatian penting yang selalu dikaji oleh tim mimbar ini. “Dulu kami masih menganut system konvensional, memahami Hindu hanya dari satu sisi, nah sekarang kami coba menyentuk seluruh aspek yang lebih plural, semisal dulu kita banyak mengangkat tema-tema yang bersinggungan, lalu lari ke arah opini-opini Hindu, kemudian membedah Bagawad Gita nah sekarang lebih arah komparatif dengan studi perbandingan,” tutur Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma UGM tersebut.

Disinggung mengenai para pembicara yang pernah hadir di mimbar, Giri menuturkan bahwa teman-teman mimbar berusaha untuk merangkul seluruh pihak yang ada, baik dari PHDI Yogyakarta, KMHD-KMHD di Jogja dan juga samprada-samprada di Jogja tanpa mengesampikan tokoh-tokoh Individu baik dari Hindu maupun non Hindu sebagai penyeimbang,” tutur Pria lulusan Tekik Geologi UGM ini. Terkait dengan peran serta Bimas(Pembimbing Masyarakat) Hindu khususnya Yogyakarta dalam keberlangsungan mimbar Hindu, dengan senyum skeptis Giri coba memaparkan ceritanya. “Mungkin perhatian dari Bimas ada walaupun sedikit tetapi kami menyadari belum secara intensif berkomunikasi dengan pihak terkait sehingga ada kesan terjadi kerenggangan hubungan,” belanya tegas. Hal tersebut ternyata berakibat pada keengganan dari pihak Bimas untuk menjadi pembicara ataupun menjadi nara sumber di mimbar Hindu sebelum ada kejelasan yang jelas terhadap status mimbar Hindu.

Respon Terhadap Mimbar Hindu

Giri selaku kordintor acara mimbar Hindu menyatakan bahwa respon pendengar sudah mulai ada peningkatan, lebih-lebih semenjak didukung dengan dibukanya line sms dan juga line telepon. “kalo dulu kan belum musim sms, jadi diskusinya tidak bisa interaktif dengan pendengar di rumah, jadi kaya ngomong sendiri aja tanpa tahu ada yang dengerin atau tidak, beda dengan sekarang, ya setidaknya mulai banyak yang sms., nah itu sebagai bukti bahwa kami gak ngomong sendiri” tutur pria yang hobi menulis puisi tersebut. Publikasi program acara mimbar menjadi sangat penting bagi keberlangsungan acara tersebut, karena diharapkan dengan semakin intensifnya publikasi yang dilakukan dapat mengundang minat pendengar lebih banyak sehingga apa yang menjadi tujuan dari mimbar ini dapat tercapai. “biasanya kami publikasi mimbar melalui newsletter-newsletter Hindu yang ada di pura-pura di Jogja, seperti di Suara Anandam lembar, Jaya Pangus dll, selain itu kami juga tetap mengandalakan word of mouth agar bisa di kenal,” tandas pria bertahi lalat di kening tersebut.

Semangat Ngayah

Terlepas dari konteks acara mimbar Hindu, sudah sepatutnya kita memberi apresiasi terhadap semangat dan perjuangan yang tak pernah lelah oleh tim mimbar Hindu yang kurang lebih tiga tahun lamanya berjuang untuk mensiarkan ajaran Hindu. Hal yang patut menjadi sorotan penting lainya yang perlu diperhatikan adalah semangat ngayah yang menjadi motivasi utama bagi tim mimbar Hindu untuk selalalu berjuang mengembngkan mimbar ini. Giri menuturkan bahwa hal yang menjadi motivasi utamanya untuk bertahan di mimbar adalah kekuatan untuk meyebarluaskan dharma. Hal lain disampaiakan Gede, Pria yang bertugas mengoperasikan mixer studio mimbar Hindu ini menuturkan motivasinya yang berawal dari kejenuhannya terhadap problematika umat Hindu yang semakin lama semakin termarjinalkan sehingga diharapakan dengan keikutsertaannya disini turut menjawab masalah tersebut, berbeda dengan Udayana, wanita yang bertugas sebagai penyiar di mimbar menyatakan motivasinya ada di mimbar semata-mata adalah untuk belajar dan pengamalan ajaran dharama kepada umat.

Namun di balik seluruh daya dan upaya yang telah mereka lakukan, ada harapan besar yang menjadi visi dari keberlangsungan mimbar Hindu tersebut. Giri menuturkan bahwa yang menjadi harapan terbesarnya selain mencerdaskan umat dengan ajaran dharma ia juga berharap dari mibar inilah akan muncul pembicara-pembicara Hindu yag Handal. “Ya dari sinilah nanti akan muncul calon-calaon pemimpiin Hindu yang tidak perlu takut lagi tampil di depan publik, bicara mengenai Hindu,”tuturnya dengan penuh semangat. Hal lain disampaikan Made, “Saya berharap mimbar menjadi inspirasi dan sebagai outokritik bagi pihak yang semestinya bertanggungjawab terhadap pengetahuan umat, bukan hanya membingungkan,” tegas pria bertubuh kurus tersebut. Udayana menuturkan harapannya terhadap mimbar agar bisa dijadikan kesempatan buat siapa saja untuk bicara tentang Hindu. “Kalau di Bali bicara menyimpang sedikit langsung diserang, namun melalui mimbar inilah semua aspirasi dan perbedaan pandangan tidak dipersoalkan,” tambah wanita berkulit putih tersebut.

………Bende Mataram……

………..Yogyakarta…......

CANDI GEBANG TETAP MEGAH DI TENGAH STADION DAN PERUMAHAN

CANDI GEBANG TETAP MEGAH DI TENGAH STADION DAN PERUMAHAN

Oleh : Ida Bagus Rian Mahardhika

Ketika kita menginjakkan kaki kita di bumi Yogyakarta maka satu hal yang langsung kita ingin kunjungi, terutama arsitektur besar peninggalan Hindu tak lain dan tak bukan adalah Maha Karya Agung Candi Prambanan. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap darmawisata ke Yogyakarta untuk mengunjungi Candi Prambanan, serasa hanya itu yang tersisa dari peradaban Hindu dulu. Sungguh disayangkan, ternyata hanya sebagian kecil dari kita, khusunya umat Hindu yang tahu akan keberadaan Candi Gebang, yang ternyata adalah Candi Tertua Hindu di Jawa Tengah.

Mungkin terasa aneh di telinga kita mendengar “Candi Gebang”, namun berdasarkan data yang ada pada Dinas Purbakala Yogyakarta diperkirakan, candi ini berdiri antara tahun 730 hingga 800 M, satu abad lebih awal ketimbang Candi Prambanan yang diprediksi berdiri antara tahun 850 hingga 910 M. Letaknya pun tidak terlalu jauh sekitar 11 kilometer di utara Kota Yogyakarta, tepatnya berada di Utara Kampus UPN Veteran Yogyakarta, yakni berlokasi di Dusun Gebang, Kelurahan Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman.

Akses masuknya pun tidak sulit, karena beberapa penunjuk arah yang sudah cukup usang masih berdiri tegak mengarahkan pengunjung ke tempat keberadaan candi, selain itu, ternyata penduduk sekitar tahu betul dimana keberadaan Candi Gebang, sehingga tak sulit mencari tempat untuk bertanya. Namun hal yang cukup mengagetkan adalah, ketika kita tiba pada petunjuk akhir arah Candi, kokohnya komplek perumahan menyambut kedatangan para pengunjung, sampai-sampai kekawatiran pun timbul dalam benak dan seraya bertanya dalam hati “apakah benar ini pintu masuk candi?”.

Ternyata petualangan tidak berhenti sampai disitu, jalan setapak yang beradada di samping perumahan yang hanya cukup dilalui oleh motor atau mobil kecil siap menghantar kita, agak menanjak dan menikung memang. Setelahnya kita melalui perkampungan warga dan hamparan sawah yang terbentang luas sampai dengan mulut pintu areal Candi. Tak tampak satu pengunjung pun pada saat itu, padahal hari itu adalah hari libur, hanya pohon-pohon besar dan nyayian burung yang menyambut kedatangan pada saat itu.

Areal candi yang tertata rapi serta papan nama candi yang tampak masih baru dan kokoh mengawali perjalanan mata kita. Selain itu tampak pos penjaga yang kebetulan pada saat itu hanya dihuni oleh satu orang penjaga saja. Dipenampakan lain terlihat kokoh bangunan stadion Sleman yang terlihat jelas berdiri kokoh memebelakangi candi yang ditemukan pada nopember 1936 silam. Letak candinya sendiri agak menjorok ke bawah, dimana kita harus melalui beberapa anak tangga untuk turun kebawah menuju candi tersebut. Hamparan rumputpun terbentang tersusun rapi mengelilingi candi yang dibangun pada dinasti Sanjaya yang berkuasa di Jawa Selatan sekitar tahun 732.

Melihat lebih dalam, maka akan terlihat ciri-ciri fisik candi yang syarat akan peradapan Hindu. Hal ini dapat diketahui dari bentuk candi yang cenderung tinggi dan ramping berbentuk bujur sangkar seluas 27,6 meter persegi dengan tinggi 7,75 meter. Tak seperti candi-candi Hindu lainnya, dindingnya polos tanpa relief (hiasan ukir-ukiran) serta didukung dengan adanya lingga, Yoni dan Arca Ganesa, disamping itu bisa dilihat dari bentuk kaki candi yang mempunyai proporsi tinggi yang menunjukan Candi tersebut berasal dari periode yang cukup tua (730 hingga 800 M).

Adapun candi ini tidak mempunyai tangga masuk atau kemungkinan tangga masuknya terbuat dari kayu atau bahan lain yang mudah rusak sehingga samapai sekarang tidak ditemukan kembali. Hal tersebut merupakan suatu keistimewaan candi ini dan keistimewaan lainnya adalah titik pusat candi bertepatan dengan titik pusat halaman candi.. Di dalam tubuh candi terdapat satu bilik dengan arah hadap ke timur yang didalamnya terdapat Yoni. Di kanan kiri pintu masuk terdapat relung dengan Arca Nandiswara, sedangkan relung yang berisi Mahakala arcanya tidak ada. Relung di sisi utara dan selatan dalam keadaan kosong. Di sebelah barat terdapat relung yang diisi dengan Arca Ganesha yang duduk di atas sebuah Yoni dengan cerat yang menghadap ke utara. Sedangkan pada bagian puncak terdapat Lingga yang berada di atas bantalan seroja. Bentuk Lingga hanya bagian atas, yaitu berupa bentuk silinder. Di dalam atap juga terdapat sebuah ruangan kecil yang berbentuk rongga di atas bilik candi sebenarnya. Di halaman ditemukan Lingga semu (patok) yang berada di keempat sudutnya.

Dahulu candi ini merupakan tempat yang tenang, sejuk dan nyaman karena berfungsi sebagai padepokan untuk para pertapa. Dan sampai saat ini pun rindangnya pohon akasia dan sukun, ditambah dengan pemandangan hamparan sawah di luar areal candi mempertahankan kesejukan dan keasrian suasana setempat. Selian itu pengunjung pun turut dimanjakan dengan kursi-kursi beralaskan semen yang tersedia di setiap pojok areal candi serta beratapkan pohon besar yang kaya akan oksigen tentunya. Memang menjadi tempat yang cukup pas sebagi tujuan wisata rohani anda.

Namun demikian hal tersebut tidak diimbangi dengan antusias dari para wisatawan, walau sudah ditetapkan menjadi salah satu obyek wisata, hal ini tidak berbanding lurus dengan jumlah wisatawan yang datang. Kenyataan ini bisa dimaklumi melihat minimnya sosialisasi serta perbaikan fasilitas pendukung seperti MCK, warung ataupun tempat penjuaalan cendramata dll. yang memungkinkan bisa menarik minat pengunjung.

Tak jarang juga sering didapati di areal candi tersebut sering terjadi peralihan fungsi candi sebagai taman bermain atau sekedar tempat bermesraan bagi para penduduk sekitar. Namun apupun kegiatan yang dialakukan, seharusnya kita mesti sadar akan fungsi candi yang sesungguhnya. Untuk itu mari bersama kita perkenalkan, membuat mereka paham dan akhirnya mau akrab dengan candi. menjadikan candi pada fungsi yang seharusnya.

………Bende Mataram……

………..Yogyakarta…......