Sunday, June 10, 2007

KARYAKU BERTEPUK SEBELAH TANGAN

Pojok Angkringan

KARYAKU BERTEPUK SEBELAH TANGAN

Mur, biasa yo, es teh sing kentel, tapi jangan terlalu panas!” pinta Pugeg yang baru saja datang dari pura selepas menunaikan sembhyang Purnama. “%#%#&$@$*&%&^$@” nurani Mur berkata. “Saya lemon tea saja Mur” menyusul Thecool yang datang bersama Pugeg. “SIPPPP” Murpun bergegas meracik kedua pesanan tamu agungnya itu.

Tiba – tiba dari keremangan grobak angkringan muculah suara “Kalian berdua bawa apa itu?”(yang dimaksud adalah setumpukan kertas newsletter) “eh pak Mustaqim, maaf pak ga lihat, maklum agak remang-remang” sambil tersenyum Pugeg bersaut. “oh yang ini pak!(dengan semangat Thecool menunjukan bawaannya itu), tadi di pura kami membagikan newsletter Hindu hasil karya teman-teman di kampus pak” Thecool coba menjelaskan. “iya pak ini sisanya, nih untuk bapak buat bacaan di rumah, ya sekalian nambah-nambah pengetahuan!” Tambah Pugeg cepat sembari memberikan newsletter tersebut kepada pak Mustaqim

“wah, sungguh luarbisa hasil karya kalian, walau bapak gak begitu ngerti isinya tetapi bapak cukup bangga kepada kalian melihat zaman yang semakin edan dan banyak pemuda yang ikut-ikutan edan tapi kalian dengan penuh semangat masih mau meluangkan waktu tuk sekedar berbagi pengetahuan agama melalui tulisan” sambut pak mustaqim dengan panjang lebar.

“ya niatnya sih gitu pak, tapi sayang gak semuanya berpikiran seperti bapak, kami sering melihat karya kami hanya dijadikan alas duduk ataupun alas bunga pada waktu sembahyang dan yang lebih menyakitkan lagi ikut dibuang bersama dengan sampah-sampah sehabis sembahyang” gerutu Pugeg dengan nada kecewa. “kami membuat ini pun dengan ikhlas dan semangat beryadnya melalui tulisan serta dengan usaha keras kami mencurahkan waktu, pikiran, tenaga dan materi untuk bisa menghasilakan ini”lanjut Thecool dengan sendu. “BETUL sekali itu pak, tapi apa yang menjadi kenyataan masih jauh dari yang kami harapkan bahkan teman-teman di kampus pun ga semuanya kasih respon positip” tambah Pugeg.

“ya bapak bisa merasakan apa yang kalian rasakan, gak salah memang kalau kalian kecewa, tetapi kalian mesti ingat kembali tujuan kalian membuat ini(sambil menunjukan newsletter tersebut), yang pertama kalian katakan membuat ini dengan ikhlas atau istilah kalian semangat yadnya, tetapi kenapa kalian mesti mengungkit masalah pengorbanan(waktu,pikiran,tenaga,materi), apa pantas kalian katakan itu dengan sebuah keikhlasan. Kedua, kalian jangan terlalu berpikiran sempit, kenapa bapak bilang begitu karena diantara orang-orang yang tidak peduli, masih banyak orang-orang yang jauh lebih peduli bahkan dengan setia menanti terbitnya karya kalian ini. Ketiga, kalian harus sadar dan mengerti bahwa belum semua orang mencapai kesadaran seperti kalian kalau dalam istilah saya belum menemukan hidayah gitu.” Ceramah pak Mustaqim yang menurut kabar sudah tiga kali naik Haji.

“ya iya sih pak” sambut si Pugeg yang sudah menghabiskan dua gelas es the manis. “ya mungkin itu yang menjadi kekeliruan kami selama ini, pemuda kan juga manusia pak” lanjut Thecool diiringi canda.

“sebagai generasi muda Hindu kalian harus tetap semangat berjuang dalam bersumbangsih dan mengamalkan ajaran agama kalian, jangan lupa pesan bapak tadi ya,penting itu, kalau perlu dicatet, yowes bapak pamit dulu mau pengajian bersama di rumah” kata – kata terakhir pak Mustaqim.

“Iya pak terima kasih, jangan lupa pesan kami juga ya, untuk selalu menegakan DHARMA di mukadimah Hedonisme dunia fana” saut Pugeg dengan penuh semangat dan lantang. “%#%#&$@$*&%&^$@”dalam hati pak Mustaqim. “Lohhhh, mangnya dia ngeti DHARMA Geg???”Tanya bingung Thecool. “Loh mangnya tadi pak mustaqim pesen apa cool????”Tanya bodoh Pugeg.

“GUBRAK GUBRAK GUBRAK GUBRAK GUBRAK?!?!?!?”“ZINGZINGZINGZING ZINGZINGZINGZING”Sambut suasana angkringan mengakhiri obrolan di malam itu.

APAKAH KITA MASIH MAU MINUM BERDIRI?

APAKAH KITA MASIH MAU MINUM BERDIRI?

Guru kencing berdiri, Murid kencing berlari

Suka minum sambil berdiri, Penyakitpun kan turut menghantui

Oleh : mas Dagood

Sajak diatas bukanlah sekedar kelakar belaka, bukan isapan jempol dan bukan maksud hati untuk menakut-nakuti. Penulis sering mengamati behavior dan altitude orang-orang disekitarnya yang sering minum sambil berdiri, bahkan penulispun termasuk didalamnya. Perilaku ini sangat sering kita jumpai pada suatu kondisi tertentu, misalnya pada saat acara resepsi pernikahan di gedung, sering kita jumpai orang-orang yang makan dan minumnya sambil berdiri. Banyak alasan dikemukakan untuk membela diri, ada yang bilang tidak kebagian tempat duduk, ada yang berkata biar tidak jauh dari makanan dan ada menegaskan sudah menjadi bagian bagi kebiasaan. Mungkin beberapa alasan sangat logis untuk diterima akal kita, ada pula yang not make sense .

Penulis jadi teringat dengan beberapa nasihat orang tua yang sebagian besar bertemakan tata kerama dan tradisi, dimana salah satunya diajarkan untuk tidak minum sambil berdiri, “nak, dibiasakan kalau minum itu jangan sambl berdiri”, ungkap sang ibu pada anaknya, “loh, mangnya kenapa begitu”, Tanya polos anaknya, “pamali kata orang, lagi pula tidak sopan kalu diliat orang”, jawab singkat ibu. Dogma pamali, wagu, ataupun tidak sopan, sudah terpatri dalam benak kita, bahkan tanpa disertai alasan ilmiah dan make sense pun bukanlah menjadi soal.

Nah, seiring berubahnya zaman, mitos itu pun sudah mulai luntur dalam diri kita, seakan sudah bukan mejadi tradisi lagi untuk di jalankan. Inilah yang menjadi perhatian penulis untuk melihat reasonable dari sebuah mitos dan dogma yang seharusnya masih terpatri dalam diri kita. Seorang sahabat mengungkapakan “Rasulullah melarang umatnya minum berdiri” didalam hadist disebutkan "janganlah kamu minum berdiri", ungkap sahababat. Mungkin hal ini dapat diterima, karena bersumberkan pada ajaran agama, namun dimanakah letak alasan ilmiahnya?

Sahabat lain menandaskan fenomena ini dalam acuan pada ilmu akupuntur. Dimana dijelaskan bahwa air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringer, yaitu suatu struktur maskuler(berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada “pos-pos” penyaringan yang berada di ginjal.

Namun demikian jika kita minum sambil berdiri, air yang kita minum tidak akan di saring oleh fringer, melainkan langsung menuju kandung kemih kita. Bahayanya jika air ini langsung menuju kandung kemih tanpa proses penyaringan, maka akan erjadi pengendapan di saluran ureter. Karena tidak melalui proses penyaringan maka akan banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter. Dan yang mesti kita waspadahi bahwa saja limbah-limbah inilah yang bisa menyebabkan penykit kristal ginjal(salah satu penyakit ginjal yang berbahaya).

Memang sungguh luar biasa akibat yang ditimbulkan dari sebuah kelalaian dan ketidakpedulian akan suatu pemahaman. Sejak kecil pun, tak pernah bosan orang tua mengingatkan hal tersebut, bahkan ajaran agama pun turut menegaskanya. Mungkin ini dapat dijadikan pedoman untuk anda merubah behavior dan altitude dalam menjalankan kegiatan, walaupun hanya sekedar “minum”. Dan pertanyaan sekarang yang ditunjukan pada anda adalah “apakah kita masih mau minum sambil berdiri?”.

.

Saatnya laki-laki bicara poligami

Saatnya laki-laki bicara poligami

Oleh ida bagus rian mahardhika

”Tak ada satupun manusia yang akan pernah bisa bersikap adil, selama manusia tersebut masih terjebak pada dualisme dunia fana (baik-buruk, hitam-putih, bersih kotor, bagus-buruk dsb.” (da_good: 2005)

Menjelang pergantian Tahun sepertinya ada saja masalah yang terjadi pada kehidupan manusia di bumi Indonesia. Sepertinya Poligami menjadi satu isu besar yang akan memenuhi kaledoskop di akhir tahun 2006, bahkan saking maraknya perbincangan seputar Poligami, majalah sekaliber TEMPO tak mau ketinggalan ambil bagian pada edisi terbarunya. Masih dalam suasana menjelang peringatan hari ibu 22 Desember mendatang maka penulis ingin sekali ikut angkat bicara pada topik ini terkait dengan eksistensi perempuan dan perhatian terhadap problematika yang dihadapinya. Bagaimanapun penulis merasa mempunyai keterikatan dengan masalah tersebut karena ibu serta dua orang adik perempuan yang sangat penulis cintai dan sayangi.

Sebulan belakangan ini, mass media baik elektronik maupun cetak sangat santer memberitakan masalah Poligami baik yang sifatnya lagal secara hukum maupun yang esek-esek (dibaca di luar nikah), sebenarnya kasus ini bukan kalih pertama booming di masyarakat, masih ingat dengan kasus seorang Pengusaha(Praktisi Poligami)“Ayam Bakar”yang sangat kontraversial memberikan award bagi pihak-pihak tertentu yang mau mempublish praktek poligaminya. Ya, seakan kasus ini kembali mencuat seiring diberitakanya pernikahan kedua seorang tokoh agama yang sangat populis di kalangan masyarakat umum.

Nah pada kesempatan ini, izinkan lah penulis melihat problematika masalah tersebut dari sudut pandangnya. Penulis berpikir bahwa masalah ini bukan barang lama lagi, bahkan sejak zaman nenek moyang masih menjadi seorang pelaut lalu beralih ke zaman Majapahit, bahkan pada era Soekarno pun praktik-praktik seperti ini telah dijalankan. Bedanya pada zaman-zaman tersebut belum ada mass media yang rajin mempublishnya. Ini hanyalah sebagai pengantar sebagai penguat dasar penulis berbicara masalah ini.

Pada dasarnya tak ada wanita yang mau diduakan,tigakan, empatkan dst. Jangankan wanita penulis sebagai pria pun tidak mau diperlakukan serupa. Tak akan ada alasan rasional apapun yang mendasari seorang laki-laki untuk bisa menikah lebih dari satu kali. Apalagi kondisi pernikahan yang memang kondusif (sehat, sudah memiliki keturunan, sudah berkecukupan, dan bahkan sudah berlangsung lama), jika komdisinya seperti itu, apalagi alasan yang bisa diterima untuk menikah lagi. Sudah jengah penulis mendengar pemberitan-pemberitaan poligami yang dilakukan oleh tokoh-tokoh publik yang mengatasnamakan ”penghindaran zinah” sebagai dalih dari ”pemuasan nafsu birahi” semata.

Pedih penulis rasakan jika poligami yang sudah mewabah ini terus merajalela, apalagi belum ada obat yang tepat untuk menghentikan endemi virus tersebut. Tak usah jauh-jauh kita berpikir, bayangkan saja jika orang-orang yang kau sayangi dan cintai terkena dampak dari virus ini. Sebut saja ibumu misalnya, apakah kau akan menerimanya jika itu terjadi, melihat setiap tetes air mata ibumu, merasakan setiap jengkal penderitaan dan kesedihan yang ibumu rasakan. Bayangkan jika adikmu yang datang menangis kepadamu, berkeluh kesah atas penderitaanya sebagai korban dari poligami.

Penulis pernah berdiskusi dengan seorang teman mengenai pandangan ajaran agamanya terhadap problematika ini. Disebutkan oleh-Nya bahwa sesungguhnya tidak ada hal yang tegas dalam agamanya yang membolehkan melakukan praktik tersebut, kalau ada yang berdalih bahwa poligami dilakukan atas sunah Nabi, sesungguhnya ia tak pernah mengerti apa arti sunah. Dikatakan oleh-Nya bahwa dulu di zaman Nabi tindakan seperti ini semata-mata dilakukan dalam rangka melindungi kaum perempuan dari penindasan para kaum lelaki yang memperlakukan perempuan seenaknya. Bahkan konon katanya satu lelaki memiliki istri sampai empat puluh orang,BUSYET!!!. Sahabat pun melanjutkan ceritanya tentang marahnya Nabi Muhammad SAW ketika tau anaknya Fatimah ingin di poligami oleh Ali bin Abi Thalib. ”Jadi tak ada alasan untuk laki-laki berpoligami”sahabat coba menekankan.

Dari cerita sahabatnya, penulis coba menginterprestasikan bahwa terjadinya poligami pada zaman Nabi tersebut tak terlepas karena situasi dan kondisi yang memaksa hal tersebut dilakukan demi melindungi perempuan dari segala bentuk penindasan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah Poligami masih relevan untuk diakukan pada zaman yang katanya demokratis ini. Atau ternyata pada kenyataanya kita masih ada di zaman ketika perempuan selalu menjadi pihak yang selalu dirugikan dari sebuah ketidakadilan.

Ya, saatnya kini kita berpikir lebih jernih, mencoba memahami perasaan perempuan dari cara mereka memandang, berpikir dan bersikap dalam menghadapi segala ancaman dan ketidakadilan yang dia rasakan. Tak ada yang lebih mulia selain perempuan yang hidup diatas ketidakadilan.

* penulis adalah anak dari seorang ibu yang menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan

SORE POJOK ANGKRINGAN

SORE POJOK ANGKRINGAN

Oleh ida bagus rian mahardhika

Ketika itu,,,,,,

Tertapak kedua kakiku di atas sebuah trotoar jalan

Memandang hiruk pikuk sore di sebuah kota pelajar

Kemudian,,,,,

Berjalan dan terus kulangkahkan tapak kakiku di atas aspal trotoar

Menuju suatu tempat yang menjadi pesona atas indahnya kotaku

Tak lama,,,,,

Terlihat sebuah grobak dekil yang menyajikan berbagai sajian khas jajanan pasar

Terpaku dan terduduklah aku disitu menikmati khasanah sosial ala tradisional

Lalu,,,,

Tersorot sebuah sosok yang cukup sabar menanti para pelanggan

Dengan senyum kepolosan dan kerendahhatian di sambutlah setiap orang yang datang

Kemudian,,,,

Kupalingkan pandanganku sejenak kepada dua sosok tua yang asik berbincang

Dengan tawa lepas kedua jompo berbagi cerita atas jago-jago bolanya

Selanjutnya

Kembali kupalingkan perhatianku kepada segerombol mahasiswa yang ribut membicarakan kebobrokan dosennya

Huh,,,, mahasiswa yang aneh,,,, pikirku seketika

Sesaat kemudian ,,,

Sepasang muda menyita dua bola mataku tuk mengamati kemesraan yang tersaji di atas kursi reot beralaskan bambu

Dan,,,

Akupun hanya bisa tersenyum, mencoba memaknai atas apa yang terjadi

Ku hanya tertunduk diam, sambil menggeleng-gelengkan kepala mencoba larut dalam keadaan

Sesaat itu,,,,,,

Dalam renunganku aku berpikir betapa penting dan berartinya gerobak dekil ini

Dan akupun terus berpikir, betapa semuanya bisa berawal dan berakhir disini

Sangat konyol memang, tapi itulah realita sosial kita

Sampai pada akhirnya,,,,,,

Segelas lemon tea dingin tersundut lemas di atas lengan besarku

Membuyarkan seluruh renunganku yang mendalam di

SORE POJOK ANGKRINGAN

*Penulis adalah penggila angkringan Pak Jenggot di Jeron Benteng Kraton

Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang,,,,,???

Angkringan (SA LEMBAR DESEMBER)

Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang,,,,,???

Sore itu cuaca memang sangat gelap, mendung pun terasa semakin pekat. Angin kencang berhawa dingin terasa menyentuh kulit, ya memang sudah seminggu ini hujan kerap mengguyur Jogja. Begitupun grobak angkringan mas Dumeh yang terlihat sangat lusuh dari kejauhan mata memandang, seakan terus memangil untuk sekedar singgah menikmati segelas teh hangat di tengah kegelapan sore yang mengharukan.

“Wah masih jam 4 sore kok dah gelap ya” Tanya lirih dalam hati The Cool yang saat itu baru saja terbangun dari tidur siangnya panjang. Bergegas dia ambil sepeda bututnya dan seketika mengayunkannya menuju grobak lusuh angkringan milik mas Dumeh. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu lama dari radio mini mas Dumeh yang selalu setia menemani para pelanggan yang datang. “kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali bagai Sang Surya menyinari dunia” sebuah lagu romansa yang menceritakan cinta kasih seorang ibu yang tiada duannya. “ngopo eee mas kok sore-sore mewek” sapa The Cool kepada mas Dumeh yang sedang melamun. “ga papa, wong ak lagi meresapi lagu ini kok!” jawab sendu mas Dumeh. “iya tuh Cool, sejak denger lagu kasih ibu mukanya langsung cemrengut” saut pak Mustaqim dari balik grobak.

“eh pak Mustaqim, iya tuh pak kok mukanya kaya orang nahan tangis gitu deh” jawab The Cool seketika. “duh kalian ini menggangu lamunanku saja, lagu tadi mengingatkanku pada ibuku di kampung, sudah dua Lebaran ku gak pulang neh” jawab Dumeh sambil mengucek matanya yang mulai memerah. “oh gitu toh mas Dumeh, wah sama donk, aku juga sudah lama tak pulang, habisnya ga di kasih ma pacarku” lanjut The Cool. “weleh-weleh jadi disini ada dua pemuda yang lagi rindu ibunya toh, 22 Desember besok bukanya hari ibu ya?”saut pak Mustaqim yang konon katanya anti-Poligami. “iya po pak? Ak gak lupa eeee, ga pernah lihat tanggalan soalna, biasanya setiap hari ibu aku selalu mengirimkan ibuku setangkai bunga mawar lewat jasa teman di Jakarta loh pak!!!”timpal The Cool. “jangan ngapusi kamu Cool, tampang kaya kamu mana pernah inget Ibumu, wong kerjaanmu pacaran mulu!!!”Dumeh menanggapi dengan serius.

Loh, jangan lihat tampangnya donk, aku kan sangat sayang pada ibuku, lebih-lebih setelah aku merantau kesini, aku baru sadar bahwa begitu besar arti seorang ibu bagiku, dulu waktu ia dekat tak pernah aku memperhatikannya palingan kalo lagi butuh duit saja, selebihnya tak pernah kuhiraukan, bahkan hari ulang tahunnya saja aku tak tau. Tetapi tidak untuk sekarang, aku baru menyadari betapa bodohnya aku dulu, setiap dimintai tolong aku selalu minta imbalan, setiap dinasehati aku selalu melawan, setiap diberi selalu minta lebih. Padahal tak pernah ibuku meminta imbalan dari nyawa yang ia petaruhkan untuk melahirkanku, dari setiap tetes keringat yang ia keluarkan untuk mengurusku, setiap detik waktu yang ia habiskan membesarkanku, setiap lembar uang yang dihabiskan untuk memenuhi kebutuhanku dan setiap utaian doa yang ia panjatkan kepada Tuhan atas berkahnya untukku karena hanya ada satu alasan ia lakukan semua itu yaitu cinta dan kasih sayang yang tak terhingga sepanjang masa, percis seperti lagu ya barusan” curhat The Cool yang tanpa ia sadari air matanya telah mendahului tetesan hujan yang jatuh membanjiri grobak mas Dumeh.

“loh,loh,loh kok jadi kamu yang curhat Cool, pake nangis segala lagi, apa kata orang nanti, dikira aku lagi yang nangisin kamu!!”tanggap Mas Dumeh dengan nada meledek. “wah, bapak jadi ikut terharu denger ceritamu nak, bapak jadi teringat dengan almarhumah ibunya bapak yang sudah meninggal setahun yang lalu. Bapak bersyukur kalau kamu sudah menyadari kekeliruanmu selama ini, mumpung kamu masih diberikan waktu dan kesempatan oleh-Nya. Ya, jangan menyesalnya belakangan seperti bapak dulu” ceramah Pak Mustaqim dengan penuh kesenduan dengan sorot mata yang mulai berkaca-kaca.

“hix,hix,hix, iya pak, saya juga tidak mau menyesalinya dikemudian hari. Tuh mas Dumeh dengerin tuh apa kata pak Mustaqim, jangan jadi anak durhaka yang gak pernah sungkem sama ibunya di kampung, hehehe” sahut The Cool dengan penuh canda sambil menghapus bekas air matanya yang masih tersisa dan melekat dipipinya. “huhuhu, dasar kamu Cool menimpalkan kesalahan pada orang lain, tetapi yang jelas aku ga separah kamu yang tidak berbakti pada ibumu, ya kamu itu yang sebenernya durhaka, untung ga dikutuk jadi batu kamu” mas Dumeh mencoba membela diri.

“HAHAHAHAHAHAHAHA”mereka tertawa bersama-sama sebagai penutup topik pembicaraan di sore itu. Tetapi tiba-tiba saja HP the Cool berdering “halo bu, kabar Cool baik-baik saja,,,,ya nih bu, Cool gak punya duit, yang kemarin sudah habis buat ini, itu, anu,dll. Ayo bu segera kirimin uang bu, pokoknya Cool gak mau tau,,$^%*%($#^#% ya ibu,,,,pokonya harus” rekaman percakapan The Cool dengan ibunya yang coba disadap olek mas Dumeh dan pak Mustaqim. “huhuhuhu, dasar kamu Cool katanya menyesal dan udah sadar, kok masih gitu sama ibumu” gerutu mas Dumeh dengan penuh kecewa yang meihat tingkah laku The Cool. Pak Mustaqim pun tak dapat berkata apa-apa selain hanya menggeleng-gelengkan kepalanya yang mulai dipenuhi uban. “hehehehehe, maaf saya lupa kalau saya sudah sadar, heheheheh!!!!

“GUBRAK!!!!@$$^&%#&#(&&%!@”suara hati mas Dumeh dan Pak Mustaqim yang diiringi lagu “tik,tik,tik bunyi hujan diatas genteng” sebuah lagu yang terpancar dari radio dengan umur setengah abad milik mas Dumeh yang sekaligus menutup mendungnya sore di hari itu. (Rian)

Homescooling, sebuah alternative pendidikankah?

Homescooling, sebuah alternative pendidikankah?

Oleh: Ida Bagus Rian Mahardhika

Pada suatu kesempatan penulis berdiskusi dengan para sahabat mengenai sebuah sistem pendidikan atau pembelajaran yang diselenggarakan di rumah yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Homescooling. Sebenarnya konsep Homescooling bukan barang baru lagi di Indonesia, kurang lebih sudah 2 tahun belakangan ini konsep pendidikan semacam ini sudah mulai diterapkan oleh para orang tua di Indonesia. Sebenarnya bukan tanpa alasan konsep ini tercetuskan, berawal dari sebuah kekawatiran para orang tua tentang pengekangan kreativitas anak, kurangnya perhatian guru, bahkan lingkungan yang kurang kondusif kerap menjadi alasan orang tua untuk menerapkan konsep tersbut.

Sebut saja Seto Mulyadi, seorang pemerhati anak yang sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat, khususnya para orang tua. Pada suatu kesempatan talk show di salah satu televisi swasta, Seto Mulyadi menyebutkan bahwa dirinya adalah orang tua yang telah menerapkan metode pembelajaran tersebut kepada anaknya, berawal dari keengganan anaknya untuk masuk sekolah akhirnya Seto mencoba memodifikasi sistem pembelajaran bagi anaknya, melalui Homescooling tersebut didukung dengan upaya mendatangkan guru ke rumah akhirnya Seto mulai mengkaji lebih dalam konsep tersebut.

“Secara etimologis Homescooling tak lebih dari sekolah yang diadakan di rumah, namun secra hakiki ia adalah sekolah alternative yang menempatkan anak sebagai subyek dengan pendidikan anak secara at home” Seto menjelaskan. “Dengan pendekatan tersebut anak akan merasa nyaman dan dapat belajar sesuai keinginan dan gaya belajar masing-masing” tutur Seto mencoba mnegaskan esensi Homescooling. Ya, memang dibeberapa Negara maju seperti Amerika sitem tersebut sudah lama dijalankan, berdasarkan data tahun ini sudah 1,8 juta anak di Amerika menggunakan cara tersebut dan tahun depan diramalkan menjadi 2,5 juta.

Menurut pemikiran penulis sistem Homescooling hanyalah sebagai isapan jempol semata, tidak ada kurikulum yang jelas yang mengatur hal tersebut, wong yang sudah ada kurikiulumnya saja masih berantakan, apalagi yang ga ada. Coba kita melihat secra kontekstual sistem tersebut, dimana secara otomatis sistem tersebut mengharuskan orang tua harus mendatangkan guru ke rumah dan tentunya menghasilkan cost yang tinggi. Selain itu perhatian yang dibutuhkan untuk menjaga berlangsungnya sistem tersebut haruslah secara berkesinambungan tidak bisa secra parsial saja. Dan juga yang tidak kalah pentinnya yang mesti kita cermati mengenai ujian kesetaraan yang harus dilakukan oleh penganut sistem tersebut, sedangkan paradigma berpikir masyaralat Indonesia bahwa ijazah ujian kesetaraan tidak laku di pasar. Serta masih banyak serentetan tantangan dan faktor penghambat lain yang sekiranya dapat menghambat berjalannya sistem tersebut.

Oleh karena itu penulis coba mengajak pembaca untuk melihat kembali esensi sebuah pendidikan yang tidak hanya dilihat dari aspek keilmuaannya saja melainkan dari aspek sosialnya juga. Pada dasarnya keberadaan wadah organisasi sekolah sangat penting sebagai aspek pembentukan anak dalam bersosialisasi. Coba bayangkan kalau anak hanya terkungkung dalam sebuah metode Homescooling, maka secara physikologis si anak akan tumbuh menjadi diri yang tertutup, individualis, bahkan tidak mau mengenal dunia luar. Menurut Sosiolog Max Weber, peran organisasi sekolah menjadi salah satu aspek yang penting yang tak terpisahkan dalam pembentukan pribadi si anak. Oleh karena itu penulis merasa bahwa sangat tidak etis ketika orang mencoba membatasi ruang gerak sosialisasi anak dalam sebuh sistem yang bernama Homescooling.

Ketakutan akan salah pergaulan, pengekangan kreativitas, bahkan lingkungan sekolah yang tidak kondusif janganlah dijadikan suatu alasan dipilihnya Homescooling sebagi alternative utama. Sesunggunghnya hal-hal yang terkait dengan ketakutan diatas tidak akan timbul jika orang tua dapat memberi perhatian penuh kepada anaknya. Selain itu pihak sekolah sebagai fasilitator senantiasa dituntuk untuk selalu berperan serta dalam mendukung berkembangnya kreativitas dan secara berkesinambungan dapat mengawasi hal-hal yang sekiranya dirasa tidak sehat bagi tumbuh berkembangnya physikologis anak.

Intinya adalah bahwa Homescooling hanyalah pendidikan alternative bagi golongan berda yang mampu secra mandiri membiayai anakanya. So, bagaimana untuk orang tua yang tidak mampu, jangankan untuk menerapkan Homescooling untuk sekolah regular saja dirasa sangat sulit. Oleh sebab itu yang mesti kita pikirkan sekarang ini adalah bagaimana membuat sistem pendidikan alternative bagi anak-anak yang tidak mampu untuk bisa bersekolah yang penting adalah low cost high competence. Apa anda punda ide?

* penulis adalah Mahasiswa Manajemen dengan NIM. EK/15944

Waktuku yang Terbuang

Waktuku yang Terbuang
Apakah sesungguhnya kematian, selain telanjang di tengah angin, serta luluh dalam sinarnya? Dan apakah arti nafas yang berhenti, selain membebaskanya dari pasang surut dan surutnya ombak yang gelisah, sehingga bangkit mengembang lepas, tanpa rintangan menuju Illahi (Kahlil Gibran)
Oleh: Ida Bagus Rian Mahardhika

Sadar atau tidak kita selalu berpacu dalam waktu. Setiap aktivitas yang kita lakukan terbatasi oleh adanya ruang dan waktu. Waktu selalu menjadi suatu hal yang penting dalam hidup, tetapi sering dilupakan bahkan diabaikan. Beberapa waktu yang lalu penulis berdiskusi dengan para sahabatnya, kebetulan pada kesempatan tersebut tema yang dibahas mengenai “ waktu”. Hal tersebut tercetus ketika salah satu teman bertanya, “kira-kira berapa ya rata-rata umur manusia di dunia”?. Salah seorang teman yang lain menjawab, “ya menurut penelitian yang pernah saya baca, waktu rata-rata manusia meninggal dunia antara usia 60 -70 tahun” tandasnya. Dari situ dikusi kami mulai mengalir dengan berbagai pertanyaan yang timbul di benak masing-masing orang. Sebuah tema yang sangat simple memang tetapi sesungguhnya cukup penting untuk di bahas.
Anggap saja manusia meninggal pada umur 65 tahun,(hanya sekedar asumsi melihat data statistic yang ada). Lalu seorang teman berasumsi, “Untuk mencapai akil baligh seorang laki-laki diperkirakan ketika mencapai umur 15 tahun, sedangkan untuk perempuan sekitar 12 tahun”, tandasnya dengan penuh keyakinan. Teman yang satu lagi mencoba menganalisa, “kalau begitu usia yang tersisa untuk kita beribadah kepa-Nya hanya sekitar 50 tahun saja (Mati-Baligh = sisa usia, 65-15 = 50)”. “lalu 50 tahun yang akan dan sedang berjalan ini kita gunakan untuk apa saja ya?”, Tanya resah salah seorang sahabat lainya. Lalu salah satu teman mencoba mengnalisa dengan hitung-hitungan sederhana seperti ini : 12 jam siang hari , 12 jam malam hari berarti ada 24 jam satu harisatu malam

Setiap hari kita tidur kurang lebih sekitar 8 jam, dalam 50 tahun waktu yang habis dipakai tidur menjadi 146.000 jam(1825 hari x 8 jam) kalu kita ubah menjadi satuan tahun menjadi 16 tahun, 7 bulan, kalau dibulatkan menjadi 17 tahun. Sungguh angka yang funtastis memang, diamana tanpa kita sadari 17 tahun dalam hidup kita hanya digunakan untuk tidur. Sayang sungguh sayang memang, padahal pada akhirnya kita akan tertidur selamanya di dunia.
Lalu perhitungan lainnya adalah waktu aktivitas kita di siang hari yang memakan waktu kurang lebih 12 jam. Dalam 50 tahun waktu yang digunakan untuk beraktivitas kurang lebih sekitar 219.000 jam (1825 hari x 12 jam), jika kita ubah menjadi satuan tahun menjadi 25 tahun. Kalau ditelusuri aktivitas di siang hari manusia ada yang bekerja, kuliah, makan, gossip, rapat, fitness, ke salon, membaca bahkan ada yang sedang bercinta. Suatu realitas kehidupan kehidupan dengan serntetan aktivitas yang tiada henti dan tak bisa disamaratakan satu dengan yang lainya.

Perhitungan lainya lagi terkait dengan aktivitas santai atau relaksasi yang sering kita lakukan seperti membaca buku sambil mendengar musik, ada yang merenung mencari arti sebuah kehidupan, atau mungkin menggunakan waktu santai untuk menulis (seperti yang saya lakukan ini). Anggap dalam sehari kita punya waktu santai sekitar 4 jam, dalam 5 tahun waktu yang kita gunakan untuk merileksasikan diri sekitar 7300 tahun (1825 hari x 4 jam), jika kita konversikan menjadi 8 tahun.

Dari semua perhitungan diatas mari kita akumulasikan, 17 tahun waktu untuk tidur ditambah 25 tahun waktu untuk aktivitas siang hari ditambah 8 tahun relaksasi menjadi 50 tahun, belum lagi korupsi waktu lainya yang nonbudgeting.

”LALU, KAPAN IBADAHNYA DONK?”, cetus salah seorang sahabat dengan lantang. Pertanyaan yang cukup menampar dan menusuk kedalam sanubari yang paling dalam. Seakan kita lupa akan kewajiban kita sebagai umat manusia, terjebak pada keduniawiaan dunia fana. Padahal manusia diciptakan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, karena satu hal yang pasti cepat atau lambat kita akan kembali ke alam hakii Ilahi. Siapa yang tahu datangnya maut, datang seketika, menjemput tanpa pernah bersahut. Malaikat datang menuntut untuk merenggut. Manusia hanya berencana, tetapi Tuhan yang punya kuasa atas hadirnya Surga dan Neraka.

Mencari ilmu memang ibadah bagi umat manusia, semua akan setuju akan pernyataan ini, tetapi hal tersebut berlaku bagi mereka yang niatnya memang untuk beribadah, tanpa memanipulasi nilai-nilai keilmuan menjadi nilai pembodohan terhadap yang tak berilmu. Namun kenyataan yang terjadi apa?, tanyalah pada jiwa-jiwa kalian sendiri apa tujuanmu kuliah?, dan saya bisa pastikan sebagian dari kalian akan menjawab, “wong kita mah kuliah mau nyari ijazah, bakal nanti bekerja agar mudah mencari nafkah?” .

Memang benar, bekerja mencari nafkah itu ibadah, tapi bekerja yang bagaimana? Apakah akan menjadi berkah ketika kita bekerja menumbalkan orang lain demi kepentingan perut kita semata, atau mungkin kita bekeja banting tulang, bahkan banting orang, dimana semua itu dengan satu tujuan mencari uang agar dapat membeli kekuasaan.

Jarang kita merasa senang ketika melihat orang lain bahagia dan sangat jarang kita bersedih melihat orang lain susah, bahkan kecendrungan yang terjadi malah sebaliknya,”senang melihat teman susah,susah melihat tema senang” , jika disingkat menjadi SMS². Adakah kita pernah mengucapkan salam ketika memasuki atau meninggalakan rumah/tempat lainnya. “iya, saya jarang melihat teman saya yang membaca bismillah saat hendak berangkat kuliah”. Tandas salah seorang teman. “tetapi saya pernah kok”, tandas teman yang lain. PERNAH, hanya sekedar pernahkah. Mungkin pernah terpatri dalam sanubari kita untuk mencari nafkah secara mulia, tetapi tak jarang semuanya harus pudar tertutup oleh asap dan kabut gemerlap dunia fana.

Salah satu teman penulis mencoba menjelaskan perhitungan waktu ibadah yang selama ini ia lakukan. Dirinya berasumsi pada sholat 5 waktu, Karena sebagian besar orang berpikir; sholat begitu besar pahalanya, sholat amalan yang dihisab paling pertama, sholat jalan untuk membuka pintu syurga?, “Kenapa kita harus cukup kalau ibadah kita hanyalah sholat kita”. Tandasnya.

coba kita asumsikan waktu sholat rata-rata 10 menit untuk setip kali sholat. Dalam 1 hari kita menghabiskan waktu sholat sebanyak 1 jam dengan penambahan diluar waktu sholat 5 waktu. Dengan begitu dalam waktu 50 tahun waktu yang terpakai sholat kurang lebih sekitar 18.250 jam(18250 hari x I jam) setelah dikonversikan sekitar 2 tahun. ini dengan asumsi semua sholat kita diterima oleh Allah swt.
”lalu dari semua pemaparan diatas apa yang bisa kita simpilkan?”, Tanya seorang sahabat. Sungguh ironis memang dari50 tahun waktu yang kita manfaatkan di dunia ini, hanya 2 tahun yang digunakan untuk beribadah. 2 tahun dari 50 tahun kesempatan yang telah diberikan, dengan catatan setiap ibadah yang dilaksanakan mendapat pahala. sekiranya sholat kita selama 2 tahun berpahala rasa-rasanya tidak
sebanding dengan perbuatan dosa-dosa kita selama 50 tahun; “dalam ucap
kata kita yang selalu dusta, baik yang terasa maupun yang di sengaja,
dalam ucap kata kita yang selalu cerca terhadap orangtua, dalam harta
kaya kita yang selalu kikir terhadap orang faqir, dalam setiap laku
langkah kita yang selalu bergelimang dosa”. Salah seorang sahabat mengucap.

dari semua itu, tiada satu yang tidak mungkin ketika seluruh umat memenuhi isi neraka untuk mendapatkan balasan atas kelalaian penggunaan waktu di tanah bumi ini. Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang dengan percuma selama manusia hidup di dunia
dan semuanya itu akan menjadi bencana ketika manusia lupa akan hakekat waktu yang ia miliki.
Wahai kawan, tiada kata terlambat untuk memulai, mengisi waktumu dengan segala hal yang brmanfaat, tidak hanya bermanfaat untuk dirimu sendiri tetapi bagi seluruh mahluk hidup diseluruh antero bumi. Jangan terlalu lama berpikir, bahkan menunda suatu yang baik. Karena waktumu adalah nyawamu, nyawamu adalah ajalmu, kau tidak sedang bermain dengan waktu, tetapi waktu yang sedang memburumu(IBRM: 2005). Mencapai suatu kesadaran adalah anugrah terindah yang diri-Nya berikan pada umat manusia. Kesadran akan hadir-Nya. Kesadran untuk berserah diri pada diri-Nya. Bersyukurlah atas hidupmu kawan, karena dengan bersyukur segala kebaikan akan datang dari segala arah(IBRM:2005).

waktumu adalah nyawamu, nyawamu adalah ajalmu, kau tidak sedang bermain dengan waktu, tetapi waktu yang sedang memburumu(ibrm: 2005).
Bersyukurlah atas hidupmu kawan, karena dengan bersyukur segala kebaikan akan datang dari segala arah(IBRM:2005).

MENYOAL SISTEM PENGAJARAN AGAMA (HINDU) DI INDONESIA

MENYOAL SISTEM PENGAJARAN AGAMA (HINDU) DI INDONESIA

Sebuah Autokritik

Oleh : Ida Bagus Rian Mahardhika

Mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan keprcayaannya masing-masing sudah barang tentu menjadi hak setiap pemeluk agama. Hal tersebut didukung juga oleh adanya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)Republik Indonesia tentang pendidikan agama dan kependidikan agama. Disebutkan dalam RPP tersebut mengenai Pendidikan agama yakni pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Sedangkan Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.

Sungguh mulia apa yang diamanatkan serta dicitacitakan dalam RPP tersebut, diamana pada nantinya Pendidikan agama difungsikan guna membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan internal dan antar umat beragama. Sampai pada akhirnya Pendidikan agama ditujukan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Apa yang telah dirancang pemerintah, bukanlah retorika belaka. Dari sinilah diharapkan sistem pengajaran agama dapat berjalan sesuai fungsi dan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam salah satu pasal disebutkan bahwa pengajaran pendidikan agama kepada peserta didik haruslah orang yang seagama. Hal ini menjadi sangatlah penting dalam penyelengaraanya karena pada kenyataanya selama ini, penyelenggaraan pendidikan agama(khususnya pengajaran agama Hindu) sering diabaikan pada lembaga pendidikan yang ada. Sebagai contoh misalnya, di suatu sekolah swasta yang berlatarkan agama tertentu jarang sekali menerima nilai agama yang telah dikeluarkan oleh Pasraman sebagai tempat penyelenggaraan agama, bahkan tak jarang mereka memaksa peserta didik untuk mengikuti pelajaran agama yang diwajibkan di sekolah tersebut, jika tidak maka nilai mereka pun akan terancam kosong. Suatu realita yang sangat memilukan hati, dimana hak asasi manusia telah ditindas.

Tanpa kita sadari bahwa terkadang dalam meperoleh pengajaran agama Hindu sangatlah sulit rupanya, khususnya hal ini terjadi di luar Bali misalnya di pulau jawa, khusnya di kota-kota besar. Penulis ambil contoh misalnya pendidikan agama Hindu di Kota Jakarta, sangatlah jarang ditemui para pengajar Agama hindu di sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai dengan SMU. Untuk memperoleh pendidikan agama mereka harus mendaftarkan diri ke sebuah pasraman yang ada di daerahnya masing-masing, terkadang hal ini menjadi faktor penghambat besar dalam berlangsungnya proses pengajaran agama. Kekurang pedulian orang tua serta para peserta didik mengkondisikan mereka enggan untuk datang ke pasraman dalam memperoleh pendidikan agama, bahkan konyolnya lagi mereka lebih memilih mengikuti pengajaran agama yang telah tersedia di sekolah mereka masing-masing yang tidak dipungut bayaran lagi, dibanding dari pada harus bersusah diri pergi ke pasraman yang notabene harus mengelurkan tambahan kocek sebagai biaya administrasinya.

Fakta lain yang penulis miliki ternyata banyak pula universitas-universitas di indonesia yang tidak mewajibkan mata kuliah agama(khususnya agama Hindu). Mereka beranggapan bahwa pengajaran agama tidak memiliki kontribusi positip dalam peningkatan akademis mahasiswa dan juga tidak sesuai dengan pencerdasan kehidupan bangsa(pembukaan UUD 45’). Benarkah demkian? Penulis merasa bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang tidak logis dan penyesatan terhadap logika berpikir, kita perlu ingat kata orang bijak, bahwa ilmu tanpa agama adalah buta.

Untuk itu RPP ini diharapkan bisa menjadi suatu tonggak dari bangkitnya sistem pengajaran Agama Hindu secara terpadu dan terarah. Dimana kedepannya akan bermunculan kaum intelektualitas Hindu yang memiliki dasar pengetahuan serta pengamalan ajaran agama yang kuat dan secara utuh dapat mencapai tujuanya dalam mensinergikan ajaran agama dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hindu Facing Global Challenge

Hindu Facing Global Challenge

BENCANA, ISYARAT MENUJU MOKSA

oleh: I. B. Rian Mahardika

BENCANA, BENCANA, BENCANA!!!!!! Sebuah ungkapan yang bahkan sering dijadikan sebagai sebuah headline pada berbagai surat kabar di tanah air. “Bencana” ialah sebuah kata yang tidak asing di telinga masyarakat Indonesia dan selama kurang lebih enam bulan ini menjadi pokok pembicaraan serta pembahasan masyarakat Indonesia. Dalam kamus bahasa Indonesia sendiri “bencana” diartikan sebagai malapetaka atau sesuatu yang menyebabkan kesusahan, (Kamus Bahasa Indonesia,1994:65). Sedangkan dalam pengertian secara umum “bencana” sering dianggap sebagai suatu musibah yang selalu mendatangkan kerugian baik kerugian secara material, mental bahkan jiwa seseorang. Dewasa ini, acapkali terdengar peristiwa bencana yang terjadi di berbagai belahan dunia sehingga muncul sebuah ungkapan bahwa ‘bencana’ sedang mengalami naik daun. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara tetangga seperti di Cina, Jepang bahkan di Amerika pun bencana turut menjadi suatu babak baru dalam berlangsungnya kehidupan bernegara.

Dalam kurun waktu enam bulan ini, Indonesia yang tersohor sebagai sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah, didera berbagai macam bencana, baik bencana yang ditimbulkan oleh alam maupun bencana yang ditimbulkan oleh kelalaian manusia sendiri. Masih terngiang dalam benak kita ketika amukan ombak tsunami meluluhlantahkan sepertiga lebih wilayah serta peradaban di bumi serambi mekah, Aceh. Namun ketika trauma Aceh belum terhapuskan, kembali bumi Indonesia dihentakkan oleh bencana yang memakan korban. Guncangan gempa dasyat dengan kekuatan 5,8 skala Richter telah memporakporandakan beberapa bagian daerah di sekitar propinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kejadian tersebut juga diiringi dengan peningkatan aktivitas Merapi yang semakin mengkhawatirkan warga Yogyakarta.

Seakan tidak puas, ternyata bencana terus menghantui bumi Indonesia. Peristiwa gempa tektonik Yogyakarta pun disusul dengan musibah banjir lumpur di daerah Sidoarjo, Jawa Timur, kemudian banjir bandang yang terjadi di Kalimantan dan Sulawesi. Amukan bencana pun tidak berhenti sampai disana, disusul oleh bencana gempa dan tsunami yang mendera pantai selatan Jawa. Sungguh dashyat bencana yang menghantam Indonesia, seakan tanpa ampun Tuhan memberikan penderitaan bagi umatNya di Indonesia.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah bencana akan selamanya menjadi bencana? Apakah akan selamanya pula kita mengartikan sebuah bencana sebagai suatu musibah yang hanya menimbulkan kerugian, penderitaan, bahkan kematian? Apakah kita akan mengartikan hal tersebut sebagai sebuah bentuk peringatan Tuhan atas kelalaian dan keangkuhan umat manusia yang telah melupakanNya?

Jika segala sesuatunya direnungkan kembali, maka segala bencana yang telah terjadi di bumi yang kita agungkan ini, tak lebih hanya sekedar isyarat bahwa bumi ini bersifat sementara. Ia tak ubahnya seperti manusia biasa yang memiliki jiwa dan raga, dan tak luput pula dari segala keterbatasan yang ada. Jiwa diartikan sebagai motor penggerak dan pengatur bumi yang jika diibaratkan dalam sebuah mobil maka jiwa adalah supirnya. Sedangkan raga adalah segala kekayaan alam baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat di planet bumi ini. Jiwa bersifat kekal adanya sedangkan raga memiliki keterbatasan berupa umur. Ada suatu masa di mana raga bumi akan mengalami kehancuran dan kepunahan. Sebagai contoh yang mudah adalah masa dimana ketika para dinosaurus pernah hidup di planet bumi dan karena kehancuran serta kepunahan raga bumi semua jenis keturunan dari berbagai spesies dinosaurus musnah, hanya tersisa beberapa spesies yang yang hingga saat ini dapat kita temukan.

Namun di sisi lain, bencana yang terjadi tak luput juga merupakan akibat dari keserakahan umat manusia yang turut berperan menghancurkan raga bumi ini. Keinginan manusia yang tanpa batas yang didorong oleh nafsu, menyebabkan manusia menjadi buta sehingga ekspolitasi alam tanpa batas pun tak dapat dielakkan. Tindakan kerja yang dilakukan manusia selama ini selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat guna manusia yakni sattwam, rajas dan tamas. Sattwam adalah sifat baik yang membawa orang mencapai emansipasi spiritualnya, Rajas adalah sifat aktif yang membawa seorang ke jalan keinginan dan kehausan akan hasil yang mengantar ia berulang-ulang ke dunia inkarnasi, sedangkan tamas adalah sifat bodoh yang menyeret seseorang terus ke bawah, ke tingkat yang lebih rendah kehidupan spiritualnya.

Ketiga sifat ini ada pada tiap manusia, hanya saja berbeda tingkatannya dan tidak seorangpun dapat melepaskan diri dari ketiga sifat tersebut semasih ia hidup di bumi ini. Gejala yang terjadi saat ini adalah penguasaan sifat manusia cenderung besar pada rajas dan tamas sehingga akibat yang terjadi adalah eksploitasi alam yang hanya memihak pada kepentingan pribadi dan kelompok semata. Bencana pun timbul sebagai akibat timbal baliknya dan pada akhirnya menimbulkan penderitaan bagi seluruh umat manusia.

Bumi ini hanya sementara, merupakan pesan singkat yang mengisyaratkan kepada manusia untuk mencapai suatu kesadaran yang harus ditumbuhkan dari pengendalian panca indra, kemudian secara lebih mendalam ditujukan pada kontrol nurani dan selanjutnya pada analisa intelek (pikiran). Secara ethika, manusia harus mengendalikan panca indranya terlebih dahulu sebagai sesuatu yang sangat rumit. Kemudian mengontrol pikirannya dan akhirnya menyadarkan jiwanya untuk bersatu dengan atman (moksa).

Di dalam Weda diterangkan bahwa turun (dilahirkan kembali) ke dunia adalah suatu penderitaan bagi jiwa, karena deritalah yang kita nikmati disini. Segala kesenangan baik berupa harta, kecantikan, ketampanan, kekuasaan bahkan penguasaan akan ilmu pengetahuan dan teknologi pun menjadi tidak berarti ketika itu hanya digunakan dalam bakti kepada diri sendiri serta dikuasai oleh rajas dan tamas jiwa kita. Tiada pilihan bagi manusia untuk bisa terlepas dari segala penderitaan di dunia (yang sesungguhnya merupakan ilusi dari dunia fana) selain kembali pada kesadaran akan moksa dan kesadaran akan Brahman.

Berdasarkan ajaran suci Weda, saat ini kita sedang berada pada zaman Kali Yuga yang lamanya 4.320.000 tahun. Zaman ini adalah zaman yang penuh dengan kegelapan dimana akan terjadi berbagai bencana yang melanda alam semesta dan salah satunya adalah yang tengah kita alami saat ini. Satu hal yang perlu kita yakini adalah bahwa planet bumi hanyalah sebagai suatu persinggahan sementara dari perjalanan panjang yang kita lalui menuju moksa (tujuan tertinggi agama Hindu ialah kembali kepada Brahman). Pesan singkat yang dapat kita terjemahkan menjadi suatu pesan yang suci, bahwa bencana yang terjadi semata-mata hanyalah ilusi maya akan hancurnya raga bumi pada kosmos alam semesta ini. Umat manusia, khususnya umat Hindu, harus dapat menyadari secara penuh bahwa apa yang raga bumi hidangkan selama ini hanyalah ilusi dari hukum alam yang melekat pada setiap umat manusia. Maka dari itu janganlah kita mengagung-agungkan kedigjayaan kehidupan di bumi dan janganlah terikat akan ilusi duniawi yang hanya semakin menguatkan tali ikatan pada lingkaran reinkarnasi.

BENCANA, ISYARAT MENUJU MOKSA, judul yang ditulis oleh penulis mengandung arti bahwa bencana yang selama ini dihadapi oleh umat manusia, tak lain dan tak bukan adalah suatu isyarat suci dari Tuhan Yang Maha Esa agar kita sadar akan tujuan utama hidup kita, khususnya tujuan tertinggi agama Hindu yakni mencapai moksa dan bukannya kenikmatan duniawi yang selama ini dijadikan sebagai tolok ukur pencapaian kesuksesan jiwa manusia. Kesadaran semacam inilah yang menjadi tantangan utama Hindu ke depan (Hindu Facing Global Challenge) yang menjadi pekerjaan rumah untuk kita semua, sebagai suatu bahan perenungan, pedoman serta tujuan utama hidup kita.

Penulis merasa bahwa arah menuju kesadaran moksa saat ini sangatlah kurang dipahami oleh umat manusia, khususnya oleh umat Hindu. Selama ini kepercayaan kita hanya sebatas pada reinkarnasi, dimana hidup saat ini menjadi bekal untuk kehidupan selanjutnya. Marilah kita bertanya pada jiwa kita masing-masing, pernahkah kita berdoa kepadaNya dengan segala kerendahan hati dan penuh ketulusikhlasan berserah diri hanya padaNya, tanpa pamrih, tanpa mengharap timbal balik serta tanpa sederetan permintaan yang sering kita haturkan pada setiap doa yang kita panjatkan? Dari bencana yang terjadi ini, marilah kita belajar mencoba memaknai dan meresapi segala makna yang disampaikan olehNya melalui setiap tragedi maupun bencana yang ada. Karena pada dasarnya bencana merupakan salah satu isyarat kesadaran untuk mencapai moksa, dan hal tersebut yang mestinya ditanggapi sebagai Hindu Facing Global Challenge yang utama bagi seluruh umat.

* penulis adalah mahasiswa Jurusan Manajemen angkatan 2005

Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada

Surat untuk ibu

Surat untuk ibu

Oleh MasBakuL DK2133FY*)

”Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintangan untuk aku anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan walau tapak kaki penuh darah penuh nanah. Seperti udara kasih yang kau berikan, tak mampu ku membalas ibu,,,,,,,”

Sepenggal lirik lagu : ”Ibu” cipt: Iwan Fals

STOP!!!!Sejenak kuhentikan lagu itu dari sebuah player di sudut note book ku. Tak kuat lagi rasanya kutahan air mata ini yang terus menohok dari kelenjar yang tersembunyi.. Lagi-lagi lagu itu berhasil memaksaku untuk menjadi pria melankolis. Sambil ku hapus air mata ini kutatap di sudut yang lain sebuah kalender yang menunjukan tanggal 22 Desember. Dengan mata memerah kupandangi tanggal tersebut dengan penuh tanya. Kuambil kalender dari pencil case ku. Dan kembali kujatuhkan air mata ke tanah bumi membasahi setiap jengkal tapak kaki ku yang tak beralaskan tanah lagi. Ya, benar hari itu adalah hari ibu, seakan menemukan penguatan atas sebuah alasan jatuhnya air mata ini.

Jauh di ranah rantau memaksa diri ini untuk menahan setiap rasa rindu pada ibu nan jauh disana. Berdiri sendiri tanpa penopang kasih yang selama ini selalu ia berikan ditengah kehampaan hidupku. Aku tak habis pikir kenapa dulu ketika ia ada didekat ku aku tak rindu, aku tak gelisah, aku tak pernah gundah. Tak pernah aku merasakan seperti itu. Malahan sebaliknya aku selalu marah, melawan, dan tak dengar nasihatnya.

Aku masih sangat mengingat ketika sang ibu menyuruhku dengan berbagai tugas rutinitas rumah tangga yang ia delegasikan kepada ku. Lalu apa jawabku, seketika juga kulampirkan tarif dan kompensasi dari setiap pekerjaan yang harus kulakukan. Oh Tuhan anak macam apa diriku ini, tak berbudi pekerti, tak berbakti dan tak tau diri. Tak pernah sadar akan limpahan kasih sayang yang ibu berikan pada diriku ini. Ibu tak pernah menagih ongkos mengandung selama 9 bulan, ibu tak pernah menagih ongkos melahirkan yang bertaruhkan nyawa, ibu tak pernah menagih ongkos perwatan dari kecil sampai sekarang besar seperti ini, tak pernah menagih ongkos bangun dari tidurnya di tengah malam karena harus menyusui, tak pernah menagih ongkos menggantikan popok, memandikan, membersihkan kotoran, merawat diriku sewaktu sakit, dan tak pernah menagih ongkos untuk setiap tetes keringat, air mata, darah, cinta dan kasih sayang yang ia berikan pada diriku, karena semua pengeluaran yang ia keluarkan telah dibayar dimuka alias LUNAS. Ya, itu sebagian kecil saja dari kekeliruan yang selama ini aku buat. Sekarang aku harus membayar mahal itu semua, air mata ini pun tak akan pernah cukup untuk membayarnya kawan!!!!.

Dari penggalan kisahku aku ingin mengajak kau berpikir kawan. sudah berapa lama kah kau tak menelpon ibumu? Sudah berapa lama kau tak berbincang dengan ibu mu,disela-sela waktu yang kau habiskan untuk menghubungi kekasihmu? Di tengah-tengah kesibukan rutinitasmu berorganisasi memimpin demo menyuarakan penderitaan rakyat, mengikuti berbagai macam seminar, mengerjakan tugas presentasi ataupun sekedar memanfaatkan wifi di kampus, dan sudahkah kau mendoakannya di setiap doa yang kau panjatkan setiap harinya? kau selalu saja mempunyai alasan untuk meninggalkannya dan melupakannya, dibandingkan perhatian berlebihan yang kau berikan pada kekasihmu. Kau selau cemas akan kabar pacar mu, cemas akan proposal, LPJ dan SPJmu ,selalu cemas apakah pacarmu sudah makan atau belum, apakah dia bahagia dengan mu dan berbagai perhatian lain yang terlalu berlebihan dibandingkan perhatian yang kau berikan pada ibumu. Apakah kau pernah memperlakukan ibumu sama seperti pacaramu. Bertanya kabar ibumu, apakah dia sudah makan, apakah dia bahagia. Maaf sepertinya aku pesimis.

Kawan, aku sadar diriku tak lebih baik dari pada kalian yang terbutakan oleh keakuan yang dominan. Aku sadar diriku telah diselubungi oleh kabut penyesalan. Tetapi aku pun sangat sadar bahwa aku harus bangkit dari kekeliruan. Selagi ada kesempatan, selagi kau masih diberikan waktu untuk membayar kasalahmu, lakukanlah kawan, sayangi dirinya peluk erat diriya, segera belilah pulsa lalu segeralah kau hubungi ibumu. Ucapkan maaf padanya, katakan bahwa kau mencintainya, menyayanginya, dan kalau kau memiliki tabungan kirimmilah dia bunga sebagaimana kau selalu memberi bunga kepada kekasimu. Ucapkan terima kasih telah menjaga dan merawat mu selama ini. Ucapkan selamat hari ibu 22 Desember ASAP.

* penulis adalah orang yang sedang merindukan sang ibunda yang jauh disana

Bingar-bingar malam di tengah hedonisme kota pelajar

Bingar-bingar malam di tengah hedonisme kota pelajar

Kehidupan malam tak pernah lepas dari kegiatan kaum muda, tanpa terkecuali para pelajar turut ambil bagian di dalamnya. Masa pencarian jati diripun sering diusung sebagai fondasi utama dalam menjajaki hingar-bingar kehidupan malam. Pengalaman penulis pun dituangkan sepenuhnya dalam artikel ini, sebagai suatu gambaran mendasar dan realita langsung yang dihadapi penulis atas kegiatan kaum muda Jogja secara umum di tengah hedonisme kota pelajar.

Disuatu sore di hari Rabu, tiba-tiba penulis menerima sebuah pesan singkat (sms) dari salah satu rekan terdekatnya. Yang isinya kurang lebih seperti ini. “ada tiket gratis ke xxx(sebuah klab malam, nama disamarkan), kalau mau ikut konfirmasi balik”. xxx tak lain dan tak bukan adalah suatu klub malam yang menawarkan suatu live performance band dan disertai dengan dj pengiring dengan alunan musik yang “full of biT and bass” yang membuat adrenalin meningkat. Klub-klub malam seperti ini lebih akrab di kalangan muda dengan sebutan tempat DUGEM (Dunia gemerlap). Penulis langsung mengiyakan ajakan rekannya tersebut. Memang bukan suatu hal yang baru lagi bagi penulis dalam mengarungi dunia malam tetapi bukan berarti penulis adalah seorang yang maniak akan kegiatan-kegiatan dunia malam. Alasan pergaulan dan ajakan teman menjadi dua dari berbagai alasan yang mendasari penulis dalam menelusuri dunia malam.

Sampai pada akhirnya waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Penulis pun bersiap diri dan segera bergegas untuk bergabung bersama rekan-rekannya untuk menikmati lika-liku gemerlap dunia malam. Seperti biasanya malam Rabu adalah malamnya para wanita, “ladies night” istilahnya. Pada malam ini para wanita bebas masuk tanpa harus membayar charge yang semestinya dibayar pada hari biasa. Selain bebas charge para wanita juga berhak mendapatkan segelas minuman cocktail. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk kaum pria karena mereka harus tetap membayar charge, seperti yang terpampang pada pintu masuk.

Karena malam itu adalah “ladies night”, para kaum hawalah yang mendominasi setiap sudut tempat yang ada. Dengan pakaian yang sexy dan solekan yang menggiurkan, mereka langkahkan kaki mereka bak seorang model yang berjalan di atas catwalk. Seketika itu juga penulis masuk bersama rekan-rekannya menuju bagian dalam gedung tersebut. Dentum-dentum musikpun sudah mulai terdengar sejak penulis menginjakkan kakinya di pelataran parkir. Dengan langkah pasti penulis bersama rekan-rekannya melangkahkan kaki untuk segera mencari tempat yang kosong dan menikmati khasanah hedonisme kehidupan malam.

Di dalam, ruangan tersebut didominasi meja-meja kecil serta meja bar dan sebuah panggung besar yang terpampang dan dipenuhi oleh band pengiring yang sedang menghibur para penikmat dunia malam. Dengan musik yang “full of bit” dan pakaian yang “full of sexy” mereka terus beraksi layaknya bintang pada malam itu.

Penulispun mulai menjajaki sekeliling tempat, mencoba mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk menikmati menikmati live performance dari band tersebut. Akhirnya penulis memutuskan untuk menuju lantai atas dari ruang tersebut. Tetapi sebelum sebelum menaiki anak tangga, mata penulis tiba-tiba tertarik untuk mengamati segerombolan pasangan muda yang masih belia yang berdasarkan estimasi penulis umurnya masih dibawah 17 tahun. Sambil menikmati musik, mereka memadu kemesraan di salah satu sudut ruangan di tempat tersebut. Sungguh ironis memang ketika usia belia mereka sudah terlihat terbiasa dan terkesan suatu hal yang sudah menjadi agenda harian mereka untuk menikmati romansa dunia malam. Setelah puas mengamati, tak jauh dari situ terlihat sangat jelas segerombol kaum gay yaitu pencinta sesama jenis yang sepertinya tak mau kalah dalam berunjuk gigi dan yang sangat mengherankan adalah usia mereka yang relatif muda belia. Seperti tidak mau percaya tetapi itulah realita yang dihadapi penulis.

Setelah asyik mengamati arus lantai bawah, penulis segera bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua ruang tersebut. Terlihat beberapa kursi kosong yang masih terhampar luas di berbagai sudut ruang. Penulis dan rekan-rekannya segera menempati salah satu kursi dan meja kosong dan seketika juga diiringi dengan datangnya pelayan yang menawarkan daftar menu yang ada. Dengan ekspresi terkejut salah satu rekan penulis memperhatikan daftar menu beserta harga-harga yang terpampang. Karena rasa tidak enak dan gengsi yang besar dengan terpaksa salah satu rekan penulis akhirnya memesan segelas minuman yang paling murah diantara yang lainnya.

Ada satu hal yang hampir terlewatkan oleh mata penulis yakni suatu tempat VIP (begitu orang menyebutnya) di salah satu bagian di lantai dua klub tersebut. Tetapi apa yang diamati penulis sangat berbeda dari apa yang telah dilihat sebelumnya.. Para lelaki setengah baya mendominasi hampir seluruh tempat yang ada pada kawasan tersebut, dengan ditemani oleh beberapa wanita muda yang seksi terlihat sangat mesra dan intim mereka bercengkrama. Dengan samar-samar beberapa kali sorot lampu memergoki kemesraan yang mereka jalin di sebuah ruang khusus dengan para tamu khusus juga.

Dari lantai dua ini penulis dan rekan-rekannya dapat mengamati secara keseluruhan yang terjadi pada lantai bawah atau lebih lazim orang menyebutnya dengan “lantai dansa”. Dari kenampakan lantai dansa dapat diamati berbagai contoh perilaku serta aksi dan ekspresi clubbers dalam menikmati bingar-bingar dunia malam.

Malam pun terus larut dan disertai juga dengan bertambahnya arus pengunjung yang datang. Sehingga ruang terus terpenuhi dengan berdatangannya para clubbers. Berbagai alunan musik terus didendangkan oleh sang penyanyi yang membuat penulis ikut larut dalam suasana. Berbagai gerakan dan ekspresi telah diluapkan oleh para “clubbers mania” sehingga peluh keriangat pun turut membanjiri tubuh.

Tak puas dengan hanya mengamati :”lantai dansa” dari atas, karena rasa penasaran yang terus bergejolak dan ingin melihat fenomena-fenomena lebih dekat akhirnya penulis bersama rekan-rekanya memutuskan untuk turun menuju lantai dansa. Satu persatu anak tangga dituruni oleh penulis. Sangat padat memang sehingga penulispun sangat sulit mencari celah dalam bergerak kerena ruang yang sudah terpenuhi berbagai macam orang yang sedang menikmati alunan musik. Selain itu udara ruangan yang tadinya sangat dingin berubah seketika menjadi gumpalan-gumpalan asap rokok yang memenuhi setiap sudut ruangan. Hal tersebut yang sangat mengherankan penulis, mengapa mereka dapat tetap betahan di tengah atmosfer udara yang sumpek dan menyesakkan tersebut.

Tanpa mempedulikan lagi hal tersebut akhirnya penulis mendapati suatu celah yang cukup luas dan cukup nyaman dalam mengamati dan menikmati live perfomance dari band pengisi. Dari sekeliling, penulis dapat melihat dengan jelas berbagai wanita dengan pakaian yang sexy turut berdendang dan bergoyang di lantai dansa sehingga memacu adrenalin kaum pria.

Dari lampu yang remang dan dentuman musik yang keras penulis mencoba mengamati segerombol wanita cantik dan belia yang berkerumun di tengah lantai dansa yang sekiranya dipimpin oleh seorang wanita yang nampak lebih tua yang diindikasikan sebagai seorang “makelar cinta” dari wanita-wanita belia yang dipimpinnya.

Seketika penulis mencoba untuk mendekati wanita-wanita tersebut dan berusaha menggali informasi lebih dalam. Namun seketika itu juga “sang makelar cinta” datang menghampiri dan secara gamblang menegosiasikan harga “sang cinta” kepada penulis. Karena rasa takut dan bingung, penulis segera berpaling dan menghindar dari sergapan sang makelar dan mencoba untuk tidak terlibat.

Tak lama setelah itu, perhatian penulis terpaku kepada sosok wanita muda yang cukup cantik dan menarik. Terlihat sekali wanita tersebut sedang menikmati dentuman musik yang tersaji di atas lantai dansa bersama dengan temannya. Secara simpatik penulis mulai mendekati wanita tersebut, sebut saja dia dengan si “D” dengan status sebagai salah seorang mahasiswi PT swasta ternama di kota ini. Perkenalan yang cukup singkat membawa penulis dan wanita tersebut larut bersama dalam bingar-bingar dunia gemerlap. Sayangnya perkenalan yang cukup singkat dan simpatik itu harus segera diakhiri karena penulis dan rekan-rekannya harus segera meninggalkan tempat tersebut.

Cuplikan cerita tersebut hanyalah sebagian penggalan kisah yang terjadi di salah satu tempat bingar-bingar kehidupan malam di salah satu sudut kota pelajar, yang seharusnya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan penuh dengan muatan pembelajaran. Menjadi sangat ironis ketika usia belia mereka yang sangat rentan dan di saat mereka mulai menjajaki masa pencarian jati diri sudah diperkenalkan dengan budaya malam yang mencerminkan hedonisme.

Namun jika kita telusuri lebih mendalam, hal ini erat kaitannya dengan keberadaan Jogja sebagai kota budaya dan pelajar. Arus modernisasi tampaknya mulai meluluhlantahkan tonggak falsafah serta cagar budaya yang selama ini dilestarikan keberadaanya dan secara bertahap akan segera tergantikan dengan bangunan-bangunan kokoh yang memanjakan masyarakat dalam menjawab perkembangan zaman. Apakah semua timbul karena ketidakberdayaan kaum tradisional atau disebabkan karena tuntutan dan kebutuhan para kaum pendatang yang secara kontinuitas menggrogoti khasanah budaya bangsa? (Rian)

oleh: Ida Bagus Rian Mahardhika