Sunday, June 10, 2007

Homescooling, sebuah alternative pendidikankah?

Homescooling, sebuah alternative pendidikankah?

Oleh: Ida Bagus Rian Mahardhika

Pada suatu kesempatan penulis berdiskusi dengan para sahabat mengenai sebuah sistem pendidikan atau pembelajaran yang diselenggarakan di rumah yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Homescooling. Sebenarnya konsep Homescooling bukan barang baru lagi di Indonesia, kurang lebih sudah 2 tahun belakangan ini konsep pendidikan semacam ini sudah mulai diterapkan oleh para orang tua di Indonesia. Sebenarnya bukan tanpa alasan konsep ini tercetuskan, berawal dari sebuah kekawatiran para orang tua tentang pengekangan kreativitas anak, kurangnya perhatian guru, bahkan lingkungan yang kurang kondusif kerap menjadi alasan orang tua untuk menerapkan konsep tersbut.

Sebut saja Seto Mulyadi, seorang pemerhati anak yang sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat, khususnya para orang tua. Pada suatu kesempatan talk show di salah satu televisi swasta, Seto Mulyadi menyebutkan bahwa dirinya adalah orang tua yang telah menerapkan metode pembelajaran tersebut kepada anaknya, berawal dari keengganan anaknya untuk masuk sekolah akhirnya Seto mencoba memodifikasi sistem pembelajaran bagi anaknya, melalui Homescooling tersebut didukung dengan upaya mendatangkan guru ke rumah akhirnya Seto mulai mengkaji lebih dalam konsep tersebut.

“Secara etimologis Homescooling tak lebih dari sekolah yang diadakan di rumah, namun secra hakiki ia adalah sekolah alternative yang menempatkan anak sebagai subyek dengan pendidikan anak secara at home” Seto menjelaskan. “Dengan pendekatan tersebut anak akan merasa nyaman dan dapat belajar sesuai keinginan dan gaya belajar masing-masing” tutur Seto mencoba mnegaskan esensi Homescooling. Ya, memang dibeberapa Negara maju seperti Amerika sitem tersebut sudah lama dijalankan, berdasarkan data tahun ini sudah 1,8 juta anak di Amerika menggunakan cara tersebut dan tahun depan diramalkan menjadi 2,5 juta.

Menurut pemikiran penulis sistem Homescooling hanyalah sebagai isapan jempol semata, tidak ada kurikulum yang jelas yang mengatur hal tersebut, wong yang sudah ada kurikiulumnya saja masih berantakan, apalagi yang ga ada. Coba kita melihat secra kontekstual sistem tersebut, dimana secara otomatis sistem tersebut mengharuskan orang tua harus mendatangkan guru ke rumah dan tentunya menghasilkan cost yang tinggi. Selain itu perhatian yang dibutuhkan untuk menjaga berlangsungnya sistem tersebut haruslah secara berkesinambungan tidak bisa secra parsial saja. Dan juga yang tidak kalah pentinnya yang mesti kita cermati mengenai ujian kesetaraan yang harus dilakukan oleh penganut sistem tersebut, sedangkan paradigma berpikir masyaralat Indonesia bahwa ijazah ujian kesetaraan tidak laku di pasar. Serta masih banyak serentetan tantangan dan faktor penghambat lain yang sekiranya dapat menghambat berjalannya sistem tersebut.

Oleh karena itu penulis coba mengajak pembaca untuk melihat kembali esensi sebuah pendidikan yang tidak hanya dilihat dari aspek keilmuaannya saja melainkan dari aspek sosialnya juga. Pada dasarnya keberadaan wadah organisasi sekolah sangat penting sebagai aspek pembentukan anak dalam bersosialisasi. Coba bayangkan kalau anak hanya terkungkung dalam sebuah metode Homescooling, maka secara physikologis si anak akan tumbuh menjadi diri yang tertutup, individualis, bahkan tidak mau mengenal dunia luar. Menurut Sosiolog Max Weber, peran organisasi sekolah menjadi salah satu aspek yang penting yang tak terpisahkan dalam pembentukan pribadi si anak. Oleh karena itu penulis merasa bahwa sangat tidak etis ketika orang mencoba membatasi ruang gerak sosialisasi anak dalam sebuh sistem yang bernama Homescooling.

Ketakutan akan salah pergaulan, pengekangan kreativitas, bahkan lingkungan sekolah yang tidak kondusif janganlah dijadikan suatu alasan dipilihnya Homescooling sebagi alternative utama. Sesunggunghnya hal-hal yang terkait dengan ketakutan diatas tidak akan timbul jika orang tua dapat memberi perhatian penuh kepada anaknya. Selain itu pihak sekolah sebagai fasilitator senantiasa dituntuk untuk selalu berperan serta dalam mendukung berkembangnya kreativitas dan secara berkesinambungan dapat mengawasi hal-hal yang sekiranya dirasa tidak sehat bagi tumbuh berkembangnya physikologis anak.

Intinya adalah bahwa Homescooling hanyalah pendidikan alternative bagi golongan berda yang mampu secra mandiri membiayai anakanya. So, bagaimana untuk orang tua yang tidak mampu, jangankan untuk menerapkan Homescooling untuk sekolah regular saja dirasa sangat sulit. Oleh sebab itu yang mesti kita pikirkan sekarang ini adalah bagaimana membuat sistem pendidikan alternative bagi anak-anak yang tidak mampu untuk bisa bersekolah yang penting adalah low cost high competence. Apa anda punda ide?

* penulis adalah Mahasiswa Manajemen dengan NIM. EK/15944

1 comment:

inova said...

Memang bentuk home scooling ada kekurangan dan kelebihannya akan tetapi pada kenyataan ada manfaat yang bisa kita dapatkan bahwa anak - anak yang homescooling lebih bebas berekspresi tentang apa yang mereka butuhkan dan lebih terarah