Sunday, June 10, 2007

Bingar-bingar malam di tengah hedonisme kota pelajar

Bingar-bingar malam di tengah hedonisme kota pelajar

Kehidupan malam tak pernah lepas dari kegiatan kaum muda, tanpa terkecuali para pelajar turut ambil bagian di dalamnya. Masa pencarian jati diripun sering diusung sebagai fondasi utama dalam menjajaki hingar-bingar kehidupan malam. Pengalaman penulis pun dituangkan sepenuhnya dalam artikel ini, sebagai suatu gambaran mendasar dan realita langsung yang dihadapi penulis atas kegiatan kaum muda Jogja secara umum di tengah hedonisme kota pelajar.

Disuatu sore di hari Rabu, tiba-tiba penulis menerima sebuah pesan singkat (sms) dari salah satu rekan terdekatnya. Yang isinya kurang lebih seperti ini. “ada tiket gratis ke xxx(sebuah klab malam, nama disamarkan), kalau mau ikut konfirmasi balik”. xxx tak lain dan tak bukan adalah suatu klub malam yang menawarkan suatu live performance band dan disertai dengan dj pengiring dengan alunan musik yang “full of biT and bass” yang membuat adrenalin meningkat. Klub-klub malam seperti ini lebih akrab di kalangan muda dengan sebutan tempat DUGEM (Dunia gemerlap). Penulis langsung mengiyakan ajakan rekannya tersebut. Memang bukan suatu hal yang baru lagi bagi penulis dalam mengarungi dunia malam tetapi bukan berarti penulis adalah seorang yang maniak akan kegiatan-kegiatan dunia malam. Alasan pergaulan dan ajakan teman menjadi dua dari berbagai alasan yang mendasari penulis dalam menelusuri dunia malam.

Sampai pada akhirnya waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Penulis pun bersiap diri dan segera bergegas untuk bergabung bersama rekan-rekannya untuk menikmati lika-liku gemerlap dunia malam. Seperti biasanya malam Rabu adalah malamnya para wanita, “ladies night” istilahnya. Pada malam ini para wanita bebas masuk tanpa harus membayar charge yang semestinya dibayar pada hari biasa. Selain bebas charge para wanita juga berhak mendapatkan segelas minuman cocktail. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk kaum pria karena mereka harus tetap membayar charge, seperti yang terpampang pada pintu masuk.

Karena malam itu adalah “ladies night”, para kaum hawalah yang mendominasi setiap sudut tempat yang ada. Dengan pakaian yang sexy dan solekan yang menggiurkan, mereka langkahkan kaki mereka bak seorang model yang berjalan di atas catwalk. Seketika itu juga penulis masuk bersama rekan-rekannya menuju bagian dalam gedung tersebut. Dentum-dentum musikpun sudah mulai terdengar sejak penulis menginjakkan kakinya di pelataran parkir. Dengan langkah pasti penulis bersama rekan-rekannya melangkahkan kaki untuk segera mencari tempat yang kosong dan menikmati khasanah hedonisme kehidupan malam.

Di dalam, ruangan tersebut didominasi meja-meja kecil serta meja bar dan sebuah panggung besar yang terpampang dan dipenuhi oleh band pengiring yang sedang menghibur para penikmat dunia malam. Dengan musik yang “full of bit” dan pakaian yang “full of sexy” mereka terus beraksi layaknya bintang pada malam itu.

Penulispun mulai menjajaki sekeliling tempat, mencoba mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk menikmati menikmati live performance dari band tersebut. Akhirnya penulis memutuskan untuk menuju lantai atas dari ruang tersebut. Tetapi sebelum sebelum menaiki anak tangga, mata penulis tiba-tiba tertarik untuk mengamati segerombolan pasangan muda yang masih belia yang berdasarkan estimasi penulis umurnya masih dibawah 17 tahun. Sambil menikmati musik, mereka memadu kemesraan di salah satu sudut ruangan di tempat tersebut. Sungguh ironis memang ketika usia belia mereka sudah terlihat terbiasa dan terkesan suatu hal yang sudah menjadi agenda harian mereka untuk menikmati romansa dunia malam. Setelah puas mengamati, tak jauh dari situ terlihat sangat jelas segerombol kaum gay yaitu pencinta sesama jenis yang sepertinya tak mau kalah dalam berunjuk gigi dan yang sangat mengherankan adalah usia mereka yang relatif muda belia. Seperti tidak mau percaya tetapi itulah realita yang dihadapi penulis.

Setelah asyik mengamati arus lantai bawah, penulis segera bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua ruang tersebut. Terlihat beberapa kursi kosong yang masih terhampar luas di berbagai sudut ruang. Penulis dan rekan-rekannya segera menempati salah satu kursi dan meja kosong dan seketika juga diiringi dengan datangnya pelayan yang menawarkan daftar menu yang ada. Dengan ekspresi terkejut salah satu rekan penulis memperhatikan daftar menu beserta harga-harga yang terpampang. Karena rasa tidak enak dan gengsi yang besar dengan terpaksa salah satu rekan penulis akhirnya memesan segelas minuman yang paling murah diantara yang lainnya.

Ada satu hal yang hampir terlewatkan oleh mata penulis yakni suatu tempat VIP (begitu orang menyebutnya) di salah satu bagian di lantai dua klub tersebut. Tetapi apa yang diamati penulis sangat berbeda dari apa yang telah dilihat sebelumnya.. Para lelaki setengah baya mendominasi hampir seluruh tempat yang ada pada kawasan tersebut, dengan ditemani oleh beberapa wanita muda yang seksi terlihat sangat mesra dan intim mereka bercengkrama. Dengan samar-samar beberapa kali sorot lampu memergoki kemesraan yang mereka jalin di sebuah ruang khusus dengan para tamu khusus juga.

Dari lantai dua ini penulis dan rekan-rekannya dapat mengamati secara keseluruhan yang terjadi pada lantai bawah atau lebih lazim orang menyebutnya dengan “lantai dansa”. Dari kenampakan lantai dansa dapat diamati berbagai contoh perilaku serta aksi dan ekspresi clubbers dalam menikmati bingar-bingar dunia malam.

Malam pun terus larut dan disertai juga dengan bertambahnya arus pengunjung yang datang. Sehingga ruang terus terpenuhi dengan berdatangannya para clubbers. Berbagai alunan musik terus didendangkan oleh sang penyanyi yang membuat penulis ikut larut dalam suasana. Berbagai gerakan dan ekspresi telah diluapkan oleh para “clubbers mania” sehingga peluh keriangat pun turut membanjiri tubuh.

Tak puas dengan hanya mengamati :”lantai dansa” dari atas, karena rasa penasaran yang terus bergejolak dan ingin melihat fenomena-fenomena lebih dekat akhirnya penulis bersama rekan-rekanya memutuskan untuk turun menuju lantai dansa. Satu persatu anak tangga dituruni oleh penulis. Sangat padat memang sehingga penulispun sangat sulit mencari celah dalam bergerak kerena ruang yang sudah terpenuhi berbagai macam orang yang sedang menikmati alunan musik. Selain itu udara ruangan yang tadinya sangat dingin berubah seketika menjadi gumpalan-gumpalan asap rokok yang memenuhi setiap sudut ruangan. Hal tersebut yang sangat mengherankan penulis, mengapa mereka dapat tetap betahan di tengah atmosfer udara yang sumpek dan menyesakkan tersebut.

Tanpa mempedulikan lagi hal tersebut akhirnya penulis mendapati suatu celah yang cukup luas dan cukup nyaman dalam mengamati dan menikmati live perfomance dari band pengisi. Dari sekeliling, penulis dapat melihat dengan jelas berbagai wanita dengan pakaian yang sexy turut berdendang dan bergoyang di lantai dansa sehingga memacu adrenalin kaum pria.

Dari lampu yang remang dan dentuman musik yang keras penulis mencoba mengamati segerombol wanita cantik dan belia yang berkerumun di tengah lantai dansa yang sekiranya dipimpin oleh seorang wanita yang nampak lebih tua yang diindikasikan sebagai seorang “makelar cinta” dari wanita-wanita belia yang dipimpinnya.

Seketika penulis mencoba untuk mendekati wanita-wanita tersebut dan berusaha menggali informasi lebih dalam. Namun seketika itu juga “sang makelar cinta” datang menghampiri dan secara gamblang menegosiasikan harga “sang cinta” kepada penulis. Karena rasa takut dan bingung, penulis segera berpaling dan menghindar dari sergapan sang makelar dan mencoba untuk tidak terlibat.

Tak lama setelah itu, perhatian penulis terpaku kepada sosok wanita muda yang cukup cantik dan menarik. Terlihat sekali wanita tersebut sedang menikmati dentuman musik yang tersaji di atas lantai dansa bersama dengan temannya. Secara simpatik penulis mulai mendekati wanita tersebut, sebut saja dia dengan si “D” dengan status sebagai salah seorang mahasiswi PT swasta ternama di kota ini. Perkenalan yang cukup singkat membawa penulis dan wanita tersebut larut bersama dalam bingar-bingar dunia gemerlap. Sayangnya perkenalan yang cukup singkat dan simpatik itu harus segera diakhiri karena penulis dan rekan-rekannya harus segera meninggalkan tempat tersebut.

Cuplikan cerita tersebut hanyalah sebagian penggalan kisah yang terjadi di salah satu tempat bingar-bingar kehidupan malam di salah satu sudut kota pelajar, yang seharusnya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan penuh dengan muatan pembelajaran. Menjadi sangat ironis ketika usia belia mereka yang sangat rentan dan di saat mereka mulai menjajaki masa pencarian jati diri sudah diperkenalkan dengan budaya malam yang mencerminkan hedonisme.

Namun jika kita telusuri lebih mendalam, hal ini erat kaitannya dengan keberadaan Jogja sebagai kota budaya dan pelajar. Arus modernisasi tampaknya mulai meluluhlantahkan tonggak falsafah serta cagar budaya yang selama ini dilestarikan keberadaanya dan secara bertahap akan segera tergantikan dengan bangunan-bangunan kokoh yang memanjakan masyarakat dalam menjawab perkembangan zaman. Apakah semua timbul karena ketidakberdayaan kaum tradisional atau disebabkan karena tuntutan dan kebutuhan para kaum pendatang yang secara kontinuitas menggrogoti khasanah budaya bangsa? (Rian)

oleh: Ida Bagus Rian Mahardhika

1 comment:

i g n arya wijaya said...

hahahha.........
ajakin gw dugem donk......