Sunday, June 10, 2007

Saatnya laki-laki bicara poligami

Saatnya laki-laki bicara poligami

Oleh ida bagus rian mahardhika

”Tak ada satupun manusia yang akan pernah bisa bersikap adil, selama manusia tersebut masih terjebak pada dualisme dunia fana (baik-buruk, hitam-putih, bersih kotor, bagus-buruk dsb.” (da_good: 2005)

Menjelang pergantian Tahun sepertinya ada saja masalah yang terjadi pada kehidupan manusia di bumi Indonesia. Sepertinya Poligami menjadi satu isu besar yang akan memenuhi kaledoskop di akhir tahun 2006, bahkan saking maraknya perbincangan seputar Poligami, majalah sekaliber TEMPO tak mau ketinggalan ambil bagian pada edisi terbarunya. Masih dalam suasana menjelang peringatan hari ibu 22 Desember mendatang maka penulis ingin sekali ikut angkat bicara pada topik ini terkait dengan eksistensi perempuan dan perhatian terhadap problematika yang dihadapinya. Bagaimanapun penulis merasa mempunyai keterikatan dengan masalah tersebut karena ibu serta dua orang adik perempuan yang sangat penulis cintai dan sayangi.

Sebulan belakangan ini, mass media baik elektronik maupun cetak sangat santer memberitakan masalah Poligami baik yang sifatnya lagal secara hukum maupun yang esek-esek (dibaca di luar nikah), sebenarnya kasus ini bukan kalih pertama booming di masyarakat, masih ingat dengan kasus seorang Pengusaha(Praktisi Poligami)“Ayam Bakar”yang sangat kontraversial memberikan award bagi pihak-pihak tertentu yang mau mempublish praktek poligaminya. Ya, seakan kasus ini kembali mencuat seiring diberitakanya pernikahan kedua seorang tokoh agama yang sangat populis di kalangan masyarakat umum.

Nah pada kesempatan ini, izinkan lah penulis melihat problematika masalah tersebut dari sudut pandangnya. Penulis berpikir bahwa masalah ini bukan barang lama lagi, bahkan sejak zaman nenek moyang masih menjadi seorang pelaut lalu beralih ke zaman Majapahit, bahkan pada era Soekarno pun praktik-praktik seperti ini telah dijalankan. Bedanya pada zaman-zaman tersebut belum ada mass media yang rajin mempublishnya. Ini hanyalah sebagai pengantar sebagai penguat dasar penulis berbicara masalah ini.

Pada dasarnya tak ada wanita yang mau diduakan,tigakan, empatkan dst. Jangankan wanita penulis sebagai pria pun tidak mau diperlakukan serupa. Tak akan ada alasan rasional apapun yang mendasari seorang laki-laki untuk bisa menikah lebih dari satu kali. Apalagi kondisi pernikahan yang memang kondusif (sehat, sudah memiliki keturunan, sudah berkecukupan, dan bahkan sudah berlangsung lama), jika komdisinya seperti itu, apalagi alasan yang bisa diterima untuk menikah lagi. Sudah jengah penulis mendengar pemberitan-pemberitaan poligami yang dilakukan oleh tokoh-tokoh publik yang mengatasnamakan ”penghindaran zinah” sebagai dalih dari ”pemuasan nafsu birahi” semata.

Pedih penulis rasakan jika poligami yang sudah mewabah ini terus merajalela, apalagi belum ada obat yang tepat untuk menghentikan endemi virus tersebut. Tak usah jauh-jauh kita berpikir, bayangkan saja jika orang-orang yang kau sayangi dan cintai terkena dampak dari virus ini. Sebut saja ibumu misalnya, apakah kau akan menerimanya jika itu terjadi, melihat setiap tetes air mata ibumu, merasakan setiap jengkal penderitaan dan kesedihan yang ibumu rasakan. Bayangkan jika adikmu yang datang menangis kepadamu, berkeluh kesah atas penderitaanya sebagai korban dari poligami.

Penulis pernah berdiskusi dengan seorang teman mengenai pandangan ajaran agamanya terhadap problematika ini. Disebutkan oleh-Nya bahwa sesungguhnya tidak ada hal yang tegas dalam agamanya yang membolehkan melakukan praktik tersebut, kalau ada yang berdalih bahwa poligami dilakukan atas sunah Nabi, sesungguhnya ia tak pernah mengerti apa arti sunah. Dikatakan oleh-Nya bahwa dulu di zaman Nabi tindakan seperti ini semata-mata dilakukan dalam rangka melindungi kaum perempuan dari penindasan para kaum lelaki yang memperlakukan perempuan seenaknya. Bahkan konon katanya satu lelaki memiliki istri sampai empat puluh orang,BUSYET!!!. Sahabat pun melanjutkan ceritanya tentang marahnya Nabi Muhammad SAW ketika tau anaknya Fatimah ingin di poligami oleh Ali bin Abi Thalib. ”Jadi tak ada alasan untuk laki-laki berpoligami”sahabat coba menekankan.

Dari cerita sahabatnya, penulis coba menginterprestasikan bahwa terjadinya poligami pada zaman Nabi tersebut tak terlepas karena situasi dan kondisi yang memaksa hal tersebut dilakukan demi melindungi perempuan dari segala bentuk penindasan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah Poligami masih relevan untuk diakukan pada zaman yang katanya demokratis ini. Atau ternyata pada kenyataanya kita masih ada di zaman ketika perempuan selalu menjadi pihak yang selalu dirugikan dari sebuah ketidakadilan.

Ya, saatnya kini kita berpikir lebih jernih, mencoba memahami perasaan perempuan dari cara mereka memandang, berpikir dan bersikap dalam menghadapi segala ancaman dan ketidakadilan yang dia rasakan. Tak ada yang lebih mulia selain perempuan yang hidup diatas ketidakadilan.

* penulis adalah anak dari seorang ibu yang menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan

No comments: