Sunday, June 10, 2007

Hindu Facing Global Challenge

Hindu Facing Global Challenge

BENCANA, ISYARAT MENUJU MOKSA

oleh: I. B. Rian Mahardika

BENCANA, BENCANA, BENCANA!!!!!! Sebuah ungkapan yang bahkan sering dijadikan sebagai sebuah headline pada berbagai surat kabar di tanah air. “Bencana” ialah sebuah kata yang tidak asing di telinga masyarakat Indonesia dan selama kurang lebih enam bulan ini menjadi pokok pembicaraan serta pembahasan masyarakat Indonesia. Dalam kamus bahasa Indonesia sendiri “bencana” diartikan sebagai malapetaka atau sesuatu yang menyebabkan kesusahan, (Kamus Bahasa Indonesia,1994:65). Sedangkan dalam pengertian secara umum “bencana” sering dianggap sebagai suatu musibah yang selalu mendatangkan kerugian baik kerugian secara material, mental bahkan jiwa seseorang. Dewasa ini, acapkali terdengar peristiwa bencana yang terjadi di berbagai belahan dunia sehingga muncul sebuah ungkapan bahwa ‘bencana’ sedang mengalami naik daun. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara tetangga seperti di Cina, Jepang bahkan di Amerika pun bencana turut menjadi suatu babak baru dalam berlangsungnya kehidupan bernegara.

Dalam kurun waktu enam bulan ini, Indonesia yang tersohor sebagai sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah, didera berbagai macam bencana, baik bencana yang ditimbulkan oleh alam maupun bencana yang ditimbulkan oleh kelalaian manusia sendiri. Masih terngiang dalam benak kita ketika amukan ombak tsunami meluluhlantahkan sepertiga lebih wilayah serta peradaban di bumi serambi mekah, Aceh. Namun ketika trauma Aceh belum terhapuskan, kembali bumi Indonesia dihentakkan oleh bencana yang memakan korban. Guncangan gempa dasyat dengan kekuatan 5,8 skala Richter telah memporakporandakan beberapa bagian daerah di sekitar propinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kejadian tersebut juga diiringi dengan peningkatan aktivitas Merapi yang semakin mengkhawatirkan warga Yogyakarta.

Seakan tidak puas, ternyata bencana terus menghantui bumi Indonesia. Peristiwa gempa tektonik Yogyakarta pun disusul dengan musibah banjir lumpur di daerah Sidoarjo, Jawa Timur, kemudian banjir bandang yang terjadi di Kalimantan dan Sulawesi. Amukan bencana pun tidak berhenti sampai disana, disusul oleh bencana gempa dan tsunami yang mendera pantai selatan Jawa. Sungguh dashyat bencana yang menghantam Indonesia, seakan tanpa ampun Tuhan memberikan penderitaan bagi umatNya di Indonesia.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah bencana akan selamanya menjadi bencana? Apakah akan selamanya pula kita mengartikan sebuah bencana sebagai suatu musibah yang hanya menimbulkan kerugian, penderitaan, bahkan kematian? Apakah kita akan mengartikan hal tersebut sebagai sebuah bentuk peringatan Tuhan atas kelalaian dan keangkuhan umat manusia yang telah melupakanNya?

Jika segala sesuatunya direnungkan kembali, maka segala bencana yang telah terjadi di bumi yang kita agungkan ini, tak lebih hanya sekedar isyarat bahwa bumi ini bersifat sementara. Ia tak ubahnya seperti manusia biasa yang memiliki jiwa dan raga, dan tak luput pula dari segala keterbatasan yang ada. Jiwa diartikan sebagai motor penggerak dan pengatur bumi yang jika diibaratkan dalam sebuah mobil maka jiwa adalah supirnya. Sedangkan raga adalah segala kekayaan alam baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat di planet bumi ini. Jiwa bersifat kekal adanya sedangkan raga memiliki keterbatasan berupa umur. Ada suatu masa di mana raga bumi akan mengalami kehancuran dan kepunahan. Sebagai contoh yang mudah adalah masa dimana ketika para dinosaurus pernah hidup di planet bumi dan karena kehancuran serta kepunahan raga bumi semua jenis keturunan dari berbagai spesies dinosaurus musnah, hanya tersisa beberapa spesies yang yang hingga saat ini dapat kita temukan.

Namun di sisi lain, bencana yang terjadi tak luput juga merupakan akibat dari keserakahan umat manusia yang turut berperan menghancurkan raga bumi ini. Keinginan manusia yang tanpa batas yang didorong oleh nafsu, menyebabkan manusia menjadi buta sehingga ekspolitasi alam tanpa batas pun tak dapat dielakkan. Tindakan kerja yang dilakukan manusia selama ini selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat guna manusia yakni sattwam, rajas dan tamas. Sattwam adalah sifat baik yang membawa orang mencapai emansipasi spiritualnya, Rajas adalah sifat aktif yang membawa seorang ke jalan keinginan dan kehausan akan hasil yang mengantar ia berulang-ulang ke dunia inkarnasi, sedangkan tamas adalah sifat bodoh yang menyeret seseorang terus ke bawah, ke tingkat yang lebih rendah kehidupan spiritualnya.

Ketiga sifat ini ada pada tiap manusia, hanya saja berbeda tingkatannya dan tidak seorangpun dapat melepaskan diri dari ketiga sifat tersebut semasih ia hidup di bumi ini. Gejala yang terjadi saat ini adalah penguasaan sifat manusia cenderung besar pada rajas dan tamas sehingga akibat yang terjadi adalah eksploitasi alam yang hanya memihak pada kepentingan pribadi dan kelompok semata. Bencana pun timbul sebagai akibat timbal baliknya dan pada akhirnya menimbulkan penderitaan bagi seluruh umat manusia.

Bumi ini hanya sementara, merupakan pesan singkat yang mengisyaratkan kepada manusia untuk mencapai suatu kesadaran yang harus ditumbuhkan dari pengendalian panca indra, kemudian secara lebih mendalam ditujukan pada kontrol nurani dan selanjutnya pada analisa intelek (pikiran). Secara ethika, manusia harus mengendalikan panca indranya terlebih dahulu sebagai sesuatu yang sangat rumit. Kemudian mengontrol pikirannya dan akhirnya menyadarkan jiwanya untuk bersatu dengan atman (moksa).

Di dalam Weda diterangkan bahwa turun (dilahirkan kembali) ke dunia adalah suatu penderitaan bagi jiwa, karena deritalah yang kita nikmati disini. Segala kesenangan baik berupa harta, kecantikan, ketampanan, kekuasaan bahkan penguasaan akan ilmu pengetahuan dan teknologi pun menjadi tidak berarti ketika itu hanya digunakan dalam bakti kepada diri sendiri serta dikuasai oleh rajas dan tamas jiwa kita. Tiada pilihan bagi manusia untuk bisa terlepas dari segala penderitaan di dunia (yang sesungguhnya merupakan ilusi dari dunia fana) selain kembali pada kesadaran akan moksa dan kesadaran akan Brahman.

Berdasarkan ajaran suci Weda, saat ini kita sedang berada pada zaman Kali Yuga yang lamanya 4.320.000 tahun. Zaman ini adalah zaman yang penuh dengan kegelapan dimana akan terjadi berbagai bencana yang melanda alam semesta dan salah satunya adalah yang tengah kita alami saat ini. Satu hal yang perlu kita yakini adalah bahwa planet bumi hanyalah sebagai suatu persinggahan sementara dari perjalanan panjang yang kita lalui menuju moksa (tujuan tertinggi agama Hindu ialah kembali kepada Brahman). Pesan singkat yang dapat kita terjemahkan menjadi suatu pesan yang suci, bahwa bencana yang terjadi semata-mata hanyalah ilusi maya akan hancurnya raga bumi pada kosmos alam semesta ini. Umat manusia, khususnya umat Hindu, harus dapat menyadari secara penuh bahwa apa yang raga bumi hidangkan selama ini hanyalah ilusi dari hukum alam yang melekat pada setiap umat manusia. Maka dari itu janganlah kita mengagung-agungkan kedigjayaan kehidupan di bumi dan janganlah terikat akan ilusi duniawi yang hanya semakin menguatkan tali ikatan pada lingkaran reinkarnasi.

BENCANA, ISYARAT MENUJU MOKSA, judul yang ditulis oleh penulis mengandung arti bahwa bencana yang selama ini dihadapi oleh umat manusia, tak lain dan tak bukan adalah suatu isyarat suci dari Tuhan Yang Maha Esa agar kita sadar akan tujuan utama hidup kita, khususnya tujuan tertinggi agama Hindu yakni mencapai moksa dan bukannya kenikmatan duniawi yang selama ini dijadikan sebagai tolok ukur pencapaian kesuksesan jiwa manusia. Kesadaran semacam inilah yang menjadi tantangan utama Hindu ke depan (Hindu Facing Global Challenge) yang menjadi pekerjaan rumah untuk kita semua, sebagai suatu bahan perenungan, pedoman serta tujuan utama hidup kita.

Penulis merasa bahwa arah menuju kesadaran moksa saat ini sangatlah kurang dipahami oleh umat manusia, khususnya oleh umat Hindu. Selama ini kepercayaan kita hanya sebatas pada reinkarnasi, dimana hidup saat ini menjadi bekal untuk kehidupan selanjutnya. Marilah kita bertanya pada jiwa kita masing-masing, pernahkah kita berdoa kepadaNya dengan segala kerendahan hati dan penuh ketulusikhlasan berserah diri hanya padaNya, tanpa pamrih, tanpa mengharap timbal balik serta tanpa sederetan permintaan yang sering kita haturkan pada setiap doa yang kita panjatkan? Dari bencana yang terjadi ini, marilah kita belajar mencoba memaknai dan meresapi segala makna yang disampaikan olehNya melalui setiap tragedi maupun bencana yang ada. Karena pada dasarnya bencana merupakan salah satu isyarat kesadaran untuk mencapai moksa, dan hal tersebut yang mestinya ditanggapi sebagai Hindu Facing Global Challenge yang utama bagi seluruh umat.

* penulis adalah mahasiswa Jurusan Manajemen angkatan 2005

Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada

No comments: